Sabtu, 25 April 2015

Bulan

Bulan -3

Mungkin ini yang mereka sebut sebagai jatuh cinta. Bukan kali pertama yang dirasa, tapi ini yang terlihat konyol. Bukan kali pertama dibuat, tapi ini yang harus diakhiri. Bukan kali pertama dikhianati, tapi ini yang harus dipelajari. Ah jatuh cinta

Slalu ada kata untung untuk setiap kejadian, setidaknya itu ciri khas manusia. Bersyukur. Satu hari Tuhan beriku waktu tuk jatuh. Berurai, tapi selebihnya dibalut kawan penuh tawa. Lupakan. Hanya. Satu. Hari.

Bulan -2

Sendiri nikmati bebas. Ah ini hidup. Tak ada sayang. Tak ada janji. Tak ada posesif. Tak ada bualan. Tak ada maaf. Tak ada harus. Tak ada. Tak ada. Dan tak ada.

Tapi terdapat 'ada'. Ah mungkin hanya. Lupakan

Tapi. Pesan berbayar masuk dan. Mungkin hanya.

Bulan -1

Intens, yang tadinya 'mungkin hanya'. Berubah menjadi 'apa mungkin'.

Headset + buku + populer = apa mungkin

Semakin. Penyesuaian canda, puitis. Apa mungkin

Bulan 0

Tak ada. Mungkin 'apa mungkin' memang harusnya 'mungkin hanya'. Hilang tapi setidaknya mengerti bahwa memang ini yang seharusnya.  Kembali pada waktu yang dulu pernah tersita oleh pertanyaan 'apa mungkin'.

Tapi aku bukan orang yang pandai berteman dengan rindu. Bersembunyi dibalik tembok tawa, yang selalu roboh oleh kerinduan. Ah aku benci mengatakan bahwa 'aku rindu'.

Bulan 1

Sama-sama mencari. Mendoakan. Mengharapkan. Dan merindukan.
Sama-sama berpura-pura. Menganalisa. Dan berkesimpulan. 'Sama-sama membutuhkan'

Berikrar tuk saling melengkapi, mencoba berjalan beriringan. Dengan tangan saling menggenggam. Mata yang saling terfokus menyaksikan. Telinga yang saling mengerti. Logika yang saling realistis. Hati yang saling meyakinkan. Hanya kita, bukan aku, bukan kamu.

Bulan 2

Seperti sayur, suatu hubungan pun perlu bumbu. Garam, gula, cabai kita yang tentukan, tinggal pilih rasa mana yang akan dimasukkan dalam sayur cinta.

Dalam hubungan bukan berarti paksakan kehendak tuk satukan dua kepala berbeda. Bukan juga mempertahankan yang ada dalam diri karna paling merasa. Tapi setidaknya saling tahu sifat yang tidak bisa hilang/dirubah setidaknya itu bisa membuat kita intropeksi untuk membuat diri meningkatkan level sabar dan tawa.

Bulan 3

Mesra bukan berarti tanpa pertanyaan. Dari awal pernyataan 'mungkin hanya' yang kemudian berubah menjadi pertanyaan 'apa mungkin' dan berubah kembali ke pernyataan 'mungkin hanya' selalu membuat berfikir. Tapi logika harus realistis bukan? Slalu diucapkan ketika ada kesempatan 'aku sayang kamu'. Tidak membuatku tuk tidak berucap dalam lirih bahwa 'aku sayang kamu' bukan? Tak terdengar bukan alasanku tuk diam menyembunyikan. Dawai- dawai doa dilantukan, terselip nama yang ku yakini. Meski yakin terkadang kalah oleh takdir.

Bulan 4
Klimaks

Sebuah Pengakuan

Mungkin terlambat tuk menyadari, atau bisa dibilang ini awal tuk sebuah pengakuan. Entah. Tapi sudah lama ku tahan ini. Mungkin akan selamanya tertahan. Semoga tidak. Tapi aku tak punya banyak pilihan selain diam. Dengan berbagai alasan, ku pilih diam. Menahan. Tertahan. Atau mungkin memang harus diam.

Satu tahun bukan waktu yang lama tuk masa saat ini. Tapi alangkah indahnya jika pernyataan 'bukan waktu yang lama' sedikit direvisi dengan perjalanan hari didalamnya. 365 hari, kumpulan hari yang terdiri dari detik yang berubah menjadi menit dan bermetamorfosis menjadi jam. Tentu dengan rasa, dan keadaan yang bisa berubah seketika. Tapi satu yang tak bisa berubah meski dalam detik, menit, jam, hari, minggu dan bulan berubah. Menahan. Atau mungkin harus dikatan tertahan. Entah. Suatu yang aku sendiri enggan mengakuinya, atau mungkin tak ada yang harus diakui. Entah.

Aku tak tahu, kapan, bagaimana, dan dimana 'ketertahanan' ini akan sampai puncaknya. Mungkin saat semua ini sudah menjauh. Atau bisa juga ketika semua ini terungkap tapi terdapat alasan tuk menjalaninya.

Aku tak tahan, berteman dengan rasa takut, menahan tuk diam, menyembunyikan rasa, dan belaga tak mempunyainya. Aku muak. Tapi kau hanya menunggu. Disudut yang kau anggap aman. Menyaksikan dari jauh. Ketika ku jatuh kau diam. Ketika ku panggil kau diam. Ketika ku butuh kau diam. Dan kau masih diam ketika ku mencoba tuk hilangkan 'ketertahanan' ini.

Tapi malam ini, ku tak ingin lagi bersembunyi dibalik lantunan doa untukmu. Ku tak ingin berdiri dibalik dinding kokoh egoisku. Ku tak ingin diam dalam gelap jeritan yang berisikan mauku padamu. Sudah bosan ku mendengar diri ini mencaci diriku sendiri karna ku terlalu takut melangkah tuk mendekapmu. Sudah terlalu lama dengarkan setan dalam kiriku yang selalu jatuhkan obsesi tuk keluarkan kasih untuk dirimu. Sudah saatnya.

Ya, aku merindu saat hujan turun
Ya, aku mencinta saat matahari menyinari
Ya, aku berharap saat hembusan angin menyapa
Ya, aku membutuhkan saat rembulan hadir
Ya, aku berdoa saat bintang bermunculan
Ya, sudah saatnya mengetahui bahwa diam itu adalah jalan terbaik. Bagai daun yang gugur terbawa angin. Aku terlambat menyadarinya dan ini adalah awal dari sebuah pengakuan.

Satu Detik

Mungkin ini satu dari sekian banyak yang bisa di rasa. Tak mudah menjelaskan. Tak mudah dibayangi. Dan tak mudah. Ya, tak mudah. Mungkin memang seperti itu. Biarkan.

Tak biasa mengungkapkan dengan sempurna. Tak tepat waktu dan tepat sasaran bukan halangan untuk tetap bisa merasakan. Seolah dipelihara, ini semakin tumbuh, menjalar ke bagian lain. Ah aku membencinya !

Dalam 24 jam yang ku miliki sebagai manusia, harus dikurangi untuk satu detik. Satu detik yang membuatku, mungkin ingin menghentikan waktu. Atau terkadang ingin menghilangkan waktu. Satu detik, hanya satu detik. Selebihnya mungkin aku akan berfikir normal kembali. Tapi tetap saja di satu detik itu !

Tak perlu pembenar untuk setiap alasan yang aku utarakan. Percuma menjelaskan, si pendengar hanya manggut dengan mata kelayapan, otak merekam, dan sebuah berita dengan analisis asal-asalan pun jadi. Dan aku? Narasumber yang masih meneliti apa yang sebenarnya terjadi.

Aku benci tapi di satu detik aku butuh seolah ribuan detik selanjutnya dialah penyelamat.
Aku merasa tapi karna alasan aku berharap ia tak nampak.
Sebuah pengakuan yang tak ingin diketahui. Meski ku tahu, ia takan pernah ingin tahu.

Kamis, 09 April 2015

Hey Bagaimana ?

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada pertemuan yang berujung mencari

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada rindu yang berujung maaf

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada genggaman yang berujung goresan

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada mesti yang berujung seharusnya

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?

Rabu, 08 April 2015

Mungkin

Kembali, sepertinya ini seperti angin. Kadang dibutuhkan dikala panas, dan dihindari pada saat tak nyaman. Mungkin. Atau mungkin seperti dahaga, yang paksa kita untuk mencari sumber, tapi kala ia terlihat kita acuh dengan alasan yang mengitari. Semisal kenyang.

Tapi mungkin ini lebih dari itu, atau mungkin tak melebihi sama sekali. Entah. Yang empunya pun terperingis dihantui apa yang ia hindari. Atau ini hanya ilusi belaka? Entah.

Dua kemungkinan yang bisa terjadi. Atau bisa dikatakan tidak ada yang terjadi sama sekali. Yang jelas si tuan berfikir keras. Satu, ada sirat dibalik yang tersirat. Dua, ada sirat dibalik ilusi. Atau hanya memang tak ada yang mesti di mestikan? Ah

Tak Ada

21.00 WIB
Waktu yang ideal menuju peristirahatan sementara, untuk pergi kealam bawah sadar bertemu bunga mimpi. Semoga bangun dengan keadaan bugar.

01.00 WIB
Terbangun untuk suatu alasan klasik, mimpi. Tapi dengan tambahan alasan yang cukup 'tak masuk keinginan', dia.

01.30 WIB
Paksa pejamkan kembali mata, tapi sia-sia. Dua puluh menit melawan pertanyaan 'kenapa, ada apa, ko bisa, kenapa, ada apa, ko bisa', tak buatku lelah meski ingin sekali mengantuk.

01.50 WIB
Ku tegukkan air penghilang 'dahaga'. Sekali teguk. Dua kali teguk. Tiga kali teguk. Empat kali teguk. Berkali-kali tegukka. Ah enyahlah.

02.00 WIB
Masih dengan pertanyaan. Mataku lihat sekeliling ruang kecilku yang ku sebut kamar, dan terfokus pada seperangkat alat shalat. Ku dirikan dua rakaat shalat dengan niat tahajud, dengan barisan bait doa.

02.30 WIB
Ah, masih. Ambil handphoneku yang mereka bilang smart. Tapi ah, apalah ini yang ada di dalam pesan singkat berbayarku. Tak ada. Tak ada? Atau memang harus tak ada? Mengapa tak ada? Apakah memang tak ada? Ya, tak ada !

03.15 WIB
Tak ada. Ah tidurlah. Dengan terpaksa. Meski enggan, tapi harus. Karna itu lebih baik. Dari pada tak ada !

07.30 WIB
Tak ada

13.00 WIB
Tak ada

15.00 WIB
Tak ada

18.00 WIB
Tak ada

19.00 WIB
Tak ada

19.30 WIB
Tak ada

19.45 WIB
Tak ada

20.45 WIB
Tak ada

21.05 WIB
Tak ada

21.30 WIB
Tak ada

21.45 WIB
Tak ada

22.00 WIB
Tak ada

22.15 WIB
Tak ada

Ah mungkin memang harus tak ada. Yasudah, semoga dia tak ada lagi. Tapi jika esok kau ada, anggap saja aku yang tak ada. Cukup adil bukan ?

Sabtu, 28 Maret 2015

Sajak

Sajak telah ku tulis. Tak terhingga. Cukup kau baca. Tak perlu mengerti. Jika kau paham, lupakan.

Lantas Bagaimana Dengan Kita ?

Terbaring lemah ku disini melawan rasa sakitku. Lemah tak berdaya hanya bisa buatku tertidur gelisah nikmati pejaman mata tanpa mimpi dan tak terasa. Dan lemah tubuh ini masih saja ada, sepertinya tubuh ini ingin dimanja, bukan saja denganku.

Masih, ku tenangkan tubuh ini dengan tidur sekejap tanpa mimpi. Tanpa kamu, hanya kata yang hadir wakilkan kecemasanmu.

Sendiri ku disini, memikirkan jalan yang sebenarnya dekat, seperti jarak hidung ke mulut. Tapi ku bingung. Ku habiskan waktu tuk berfikir, seolah jauh tapi ternyata berputar pada satu titik, tanpa terang, tanpa angin, hanya mencari.

Masih, ku berjalan mencari. Sendiri. Tak lelah, meski terkadang menyerah. Tanpa kamu. Hanya kata yang rajin berikan laporan. Perintah kepedulianmu.

Menahan, memendam rindu yang seharusnya tersalur sebagaimana mestinya, pergi pada tuannya tuk memeluk, bercerita pada hati yang lama tak mendengar. Terpenjara. Diruang yang seharusnya berudara, tapi malah gelap gulita, meraba cahaya mimpi yang dituliskan pada janji yang kita bulatkan.

Masih, ku pelihara rindu ini agar tak lari pada tuan yang lain. Hanya doa yang setia beriku cahaya. Mungkin Tuhan bosan dengar pintaku, tapi aku tak mau menyerah. Tanpa kamu. Hanya kata yang rajin mengamini tanda doaku kau terima.

Apa kabar kau disana?
Apakah Tuhan berimu waktu yang berbeda denganku sehingga detik untukku menurutmu abad?

Sedang apa kau disana?
Apa Tuhan berimu tempat bukan dibawah langit sehingga oksigen yang ku hirup menurutmu udara hampa?

Kapan kau kembali?
Apa Tuhan berimu jarak yang jauh sehingga kilometer bagiku menurutmu astronomical unit?

Apakah kau merasakan?
Apa Tuhan berimu rasa yang tak bisa terpikirkan oleh makhluk lain sehingga rindu bagiku menurutmu ketidakmungkinan?

Tuhan beri waktu dalam matahari dan bulan sebagai penandanya.
Tuhan beri tempat dalam nama yang manusia bisa menyebutnya bumi.
Tuhan beri jarak antara yang bernyawa diatas tanah dalam kilometer.
Tuhan beri manusia kepekaan rasa tanda kasih pada hambanya.
Lantas bagaimana dengan kita?

Sia-sia huruf terangkai indah jika terdorong kepura-puraan.
Sia-sia langkah yang diagung-agungkan seirama jika tujuannya berbeda.
Sia-sia kepedulian yang dibangun dengan doa jika yang mengamini berpaling dalam isi doa.

Haruskah aku bertanya lagi lantas bagaimana dengan kita?

Sabtu, 21 Maret 2015

Pantai

Ini tentang tempat yang paling aku suka. Dan saat ini aku merindukannya. Pantai. Tempat paling indah menyaksikan mentari muncul dan tenggelam, setelah gunung.

Lepas. Sejauh mata memandang hanya air dalam balutan ombak, air dengan kandungan garam didalamnya, dan air tempat semua binatang laut tinggal. Dan ku melihatnya.

Dipinggir pantai, berpasir bertekstur tak halus, aku duduk. Ditemani ombak yang datang bawakan sisa air yang tumpah sebelum menyentuh tubuhku. Mataku masih melihat kedepan. Laut. Tanganku tak bisa diam, mainkan pasir yang beberapa waktu lagi akan ku tinggalkan.

Ku mainkan jariku diatas pasir. Tuliskan yang seharusnya tak ku tulis. Dan laut pun marah. Ia sampaikan lewat ombak tuk hapuskannya. Atau memang sudah semestinya?

Dan yang kutunggu pun datang. Senja. Mentari perlahan berjalan tenggelam di ufuk barat menghilang di bawah garis cakrawala. Burung pun mempercantiknya, cahaya oranye dengan paduan langit yang mulai gelap. Ombak perlahan tunjukkan kekuatannya, semakin besar menyapu pantai. Dan aku merindunya. Semakin menghilang. Ku titipkan doa lewat senja. Semoga kita bertemu kembali.

Makna

Tolong jangan tanyakan sudah berapa lama aku disini, karna aku sendiri pun sudah lupa sejak kapan aku berteman akrab dengan detik hingga aku hafal betul dengan cerita dibalik angka yang ia jalani. Nampaknya aku terlalu tegar untuk kau kalahkan dengan rasa yang kau ciptakan, atau dirimulah yang terlalu bodoh untuk buatkan diriku sebuah jalan? Entahlah yang pasti aku disini, berdiri, menunggu, melihat, dan, pergi, segera !

Sebagian nama aku lupa, tapi seluruh makna aku ingat, fasih. Belakang - depan - tengah. Tengah-belakang-depan. Depan - belakang - tengah. Depan - tengah - belakang. Mulai dari A - Z. Z - A. Dari tanda seru hingga tanda tanya, atau tanda titik yang sering berubah menjadi tanda koma, dan tak jarang berubah menjadi tanda seru, dan berubah kembali tanda tanya, dan kemudian tak menemukan jawaban.

Kau rangkai cerita, aku jejerkan huruf. Kau datangkan hujan dengan mentari disampingnya, aku gali dalam-dalam tanah agar bibit yang ku tanam tak hanyut. Tapi tanah tetaplah tanah. Bongkahan es ditempat dingin pun ada saatnya ia harus bersatu dengan air, tempat asalnya.

Makna tak harus tersurat dan terlihat. Terkadang daun yang gugur pun suguhkan makna, bukan karna ia lemah atau terbawa angin. Tapi karna ia tahu tanah membutuhkannya tuk suburkan pohon, tempat jatuhnya.

Jumat, 27 Februari 2015

Tentangku atau Tentangmu ?

Mendayu tentangmu ketika ku pejamkan mata. Bayangmu kembali. Paksa ku buka kan mata. Dan kamu tertawa.

Lawas. Tak terkira hingga kini. Ku berpaling kau semakin dekat. Ku dekap kau berontak. Dan aku terdiam.

Berdiri. Ku siaga kau sekap. Ku mendengar kau berlari. Aku terbang kau patahkan. Dan kau bersembunyi.

Tak satu. Ku lupa kau lukiskan. Ku bayangkan kau samarkan. Kau bersuara, aku tak nampak.

Salah siapa?
Lupakanlah.

Yasudah

Dia. Sosok yang mungkin ku kenal, tapi bisa juga tidak. Haha entahlah, mungkin hanya perasaan. Dimulai dari sebuah  pertemuan. Cukup luas, tapi bagiku tidak, gedung itu terlalu sempit untuk menampung semua orang yang hobinya berjalan. Disana, aku harap semua baik-baik saja. Tapi sayang, didetik kesekian dihari itu, semua tak terkendali. Bukan situasinya, tapi pikirannya. Sesosok makhluk bumi, bernafas, berdetak, dan masih menyentuh bumi terlihat. Entahlah dia nyata atau lelahku. Sekelibat dia hadir dipenglihatanku. Tapi dengan sekejap pula dia tenggelam dikeramaian manusia lainnya. Ku alihkan mata ini dengan ucapan tawa yang seenaknya keluar tapi tak aku pikirkan. Disela tawa kerasku, sosok itu muncul lagi. Tak pikir lama karna aku mulai jengah dengan pertanyaan siapa dia. Ku dekati, dengn jarak yang hanya beberapa dekat lagi bisa menyentuhnya, ku hentikan dan ku mulai pandangi dengan seksama. Ya Tuhan ternyata dia itu manusia yang selalu aku amati punggungnya beberapa waktu lalu. Haha aku kira dia hanya khayalku, ternyata dia nyata. Ku balikkan tubuhku arahkan langkah ini pada tempat semula. Ya semoga saja semua kan terhapus. Kalaupun tidak, anggap saja semua ini kertas yang harus aku isi.

Kembali pada tempat semula, tapi tidak dengan mata dan pikiran ini. Melayang, mencari dia yang baru aku lihat. Alih-alih tak ada udara, ku mulai menyusuri setiap sudut dan kepala manusia lainnya. Terkejut. Di satu sisi, ku lihat wanita cantik tertawa tertahan karena ingin anggun menatap penuh binar. Dan dia, dengan seksama perhatikan setiap tingkah dan ucapnya. Sayang, dia panggil dirinya itu. Hanya berjarak beberapa langkah. Tercengang ku dibuatnya. Yasudah. Ku harus kembali pada posisi semula. Tertawa.

Kamis, 26 Februari 2015

Siang Ini

Siang ini masih bolehkah ku berharap? Atau setidaknya melamunkan tentangnya, yang kini tlah ku kubur dalam- dalam semua citaku akan dia. Mungkin. Entahlah, aku harap aku sudah menguburnya, ya kalaupun hari ini aku berharap atau melamunkan tentangnya, maafkanlah karna aku tlah sekuat hati untuk tidak memikirkannya, paling tidak aku berusaha untuk mengalihkan tatapanku dari wujudnya. Meskipun mata ini tahu arah mana yang harus ia tatap.

Diruangan yang cukup luas, dengan manusia yang sangat banyak waktu itu, membuat suhu ruangan menjadi panas, oksigen seolah hilang terhirup oleh manusia yang tak dikeluarkan lagi. Pandanganku masih lurus ke depan, sampai ketika seseorang mengeluarkan pertanyaannya. Pertama yang aku lihat bukan sumber suara, tapi dia yang seharusnya aku hindari. Tak tahu dia ada, tapi mata ini terus ingin meliriknya. Ya Tuhan apalagi ini.

Sepanjang waktu aku gelisah berharap cepat keluar bertemu dengan angin dan melepas rindu dengan matahari. Entahlah, rasa rindu ini mendadak muncul. Mungkin hanya mataharilah yang dapat membakar semua lamunan ini. Tapi sayang, waktu sepertinya sedang ingin bermain denganku. Lambat. Ia berdetik dengan pelan sekali. Entahlah, mungkin ia sedang menertawakan keadaanku. Dan mataku seolah ingin menatapnya, lagi. Ah pandangan ini membawaku pada harapan yang, entahlah. Aku terlalu tinggi mengaharapkan cicak dapat merayap dinding langit.

Syukurlah waktu mengakhiri permainannya. Meskipun aku kalah, setidaknya aku bisa menatapnya kali ini. Ya Tuhan maafkan aku. Semoga tatapan itu tak mengendap di memori ingatanku. Bukan aku tak siap kalah, tapi karna aku tahu rasanya berlari dengan kencang diatas angin.

Sabtu, 21 Februari 2015

Dia (bukan) Untukku

Helaan nafas panjang ini mengawali malam. Diluar sedang turun hujan. Aroma air dengan suhu dinginnya masuk lewat celah jendela. Aku yang sedari tadi mendengarkan rintikan air yang seolah saling saut-menyaut. Dalam setiap bunyi rintikan, memoriku semakin menggali ingatan itu. Entah berapa dalam kisah itu ku kubur. Tapi sayang, hujan malam ini tlah lancang menggali kisah yang seharusnya tlah dalam terkubur.

"Sedang apa kau disini?"
"Hah, sejak kapan kau disini?"

Hari itu jam telah tunjukan angka 16.15. Dihari yang istimewa yang seharusnya ku berdoa mengisi setiap ucapku dengan kalimat terbaik untukku, dan dia. Tapi sayang, ku tak terlalu melihat kenyataannya. Hanya beberapa jam setelah ia berikanku kejutan, dan beberapa jam sebelum ku berikan ia kejutan. Tapi ternyata waktu tlah hadiahkan ku kejutan. Di sebuah tempat yang menjadi tempat favorit kita berdua. Tumpukan ilmu yang disatukan dalam lembaran kertas tersusun rapih dalam lemari kayu khas menjadi hiasan indah. Disini biasanya aku dan dia habiskan waktu bersama. Jika film dan makanan tak lagi dapat menghibur. Kita singgah disini tuk hiburkan diri lewat kata. Aku slalu ingat, ia slalu langsung pergi ke lorong tumpukan komik-komik. Buku bergambar manga itu slalu bisa menghipnotisnya tuk serius dan tertawa. Dan aku hanya bisa melihatnya asyik tanpa mau mengganggunya.

"Kamu lagi ngapain disini? Dan ngapain juga kamu sama dia? Pake acara pegangan tangan segala lagi?"
"Kamu sama siapa kesini?"
"Kamu lagi ngapain disini? Lagi ngapain kamu sama dia?"
"A..aku disini lagi nungguin temen, aku mau ngasih kejutan untuk kamu"
"Oh lagi nungguin temen ya? Emang janjian jam berapa? Masa udah dua jam nungguin ga datang-datang juga temennya. Tadi bilang mau ngasih kejutan ya? Makasih banyak loh kejutannya luar biasa banget"

Aku pergi dengan kecurigaanku yang terbukti benar. Tapi sayang, hati ini mengelak tuk benarkan kenyataan yang ada. Empat bulan sebelum hari ini, ku kira kesalahan dalam kata itu tak disengaja, bahkan aku berfikir itu hanya keisengan belaka.
"Kamu udah makan belum Fir?
"Fir? Siapa itu fir?"
"Eh maaf sayang aku salah ketik, maksudnya Gir, Gira. Maaf sayang huruf 'f' sama 'g' nya deketan si jadi aku salah mencet deh, maaf ya sayang"
"Oh dikirain kamu lagi sms-an sama yang lain"
"Engga dong sayang kan cuma kamu doang yang ada disetiap hari dan di hati aku"

Tapi apa mungkin kesalahan dalam pengetikan bisa terjadi lebih dari satu kali. Meskipun iya posisi huruf 'f' dan 'g' dalam keypad qwerty berdekatan, seharusnya itu tak bisa dijadikan alasan setiap waktu ia salah dalam menyebutkan nama dalam sms bukan? Dan jika memang aku yang menjadi satu-satunya wanita yang ada disetiap hari dan hatinya, mana mungkin bisa ia salah menyebutkan nama?

Kecurigaanku ku pendam hanya untuk menghindari konflik. Bukan ku takut berdebat dengannya, tapi aku hanya ingin memberikannya kesempatan untuk ia bisa jujur pada ku. Tapi sayang, ia tak pernah mengerti. Atau ia hanya pura-pura tak mengerti akan kebaikanku?

"Aku juga sayang kamu Fir"
"Ardi kamu lagi ngapain disini? Ngapain juga kamu sama Fira berduaan?"
"Eh sayang sejak kapan kamu disini?"
"Aku baru datang ko. Dari tadi aku teleponin kamu, tapi ga diangkat mulu, yaudah aku jalan sendiri kesini"
"Oh iya maaf ya sayang handphone aku ketinggalan di mobil"
"Oh ketinggalan ya? Terus itu handphone siapa?"
"Emm... itu, itu.."
"Kamu lagi ngapain disini Fir?"
"Aku disini lagi nungguin temen bareng Ardi, yaudah aku pergi dulu ya"
"Oh oke"

Dan aku melihat matanya mengantarkannya pergi. Mungkin itu bentuk perhatian seorang teman. Atau ada alasan lain mungkin. Entahlah, tapi yang aku tahu, ia membohongiku, lagi. Dan aku hanya bisa mengangguk kecewa, tapi bodohnya aku pendam.

Ia berteman denganku sudah cukup lama. Sebelum ku mengenal Ardi, aku sudah mengenalnya. Tapi sayang, aku tak mengenal hatinya dengan baik. Setiap saat aku ingin mengeluarkan cerita tentangnya, aku pasti bercerita pada Fira. Ia slalu antusias ketika ku menyebutkan namanya. Seperti ada magnet, ia slalu tunjukan ketertarikannya pada apapun tentang Ardi, terutama yang keluar dari mulutku. Dari awal ku menatap matanya hingga akhirnya ku bisa menyentuh hatinya, Fira tahu. Dan bodohnya aku mempercayai ia begitu saja.

Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Kecewa. Sudah tentu ku kecewa. Tak percaya, sungguh sulit untuk mempercayai semua yang ku lihat.
"Bodoh !! Kenapa aku bisa sebodoh ini. Sekarang sudah jelas kecurigaanku slama ini. Dan kenapa juga aku harus bertahan slama ini. Kenapa aaahhh !!!"
Sepanjang jalan ku hanya mendumel. Buang kekesalan di taman ini, tak terlalu buruklah aku bisa mengeluarkan rasa kecewa ku dengan ditemani air mata tak percaya ini, meskipun hanya pohon dan rerumputan yang menjadi saksi. Perih, lebih dari dua jam aku melihat sesuatu yang seharusnya aku tak lihat, atau mungkin aku seharusnya melihat ini sejak lama. Entahlah aku hanya bisa menangis kecewa.

Sedang ku nikmati rasa kecewa ini, handphoneku berdering, namanya muncul dalam layar, ku diamkan. Lagi, hingga pesannya pun masuk, tapi tak ku hiraukan. Dan lagi, handphoneku berdering kembali. Hasrat inginku jawab panggilannya, tapi masih ku marah padanya. Tapi akhirnya ku terima pula panggilannya.
"Sayang maafin aku, kamu salah paham sayang. Kamu lagi dimana? Aku perlu jelasin ini semua"
"Aku pingin kita ketemu sekarang di taman"
"Oke, tapi kamu ga marah kan sayang?"
"Ada lagi yang perlu dibicarain?"
"Sayang maafin aku, kamu salah paham sayang"
"Kamu udah ngerti kan, aku pingin kita ketemu sekarang"
"Oke oke aku kesana sekarang, tapi kamu ga..."
Tak kuasa ku mendengar suaranya. Rengekan itu buatku hampir luluh. Tapi aku tlah terlampau sakit. Aku harap ia tak tahu bahwa aku tlah pura pura tegar.

Masih ku nikmati kecewa ini, handphone ku kembali berdering. Fira. Nama itu muncul di layar handphone ku. Aaahh semakin membuat emosiku tak terkendali. Ku biarkan bunyi itu. Lagi, sebuah pesan mendarat di nomorku.
"Jawab panggilan gue, lo tu udah salah paham Gir"

Salah paham? Ya salah paham !!
Emosiku masih belum stabil. Tapi handphoneku sudah kembali berdering. Lagi, Fira. Iba. Ku jawab panggilannya.
"Gue minta maaf sama lo. Tapi lo udah salah paham, Gir"
"Temui gue di taman sekarang"
"Gir, lo itu udah salah paham. Lo ngerti dong, jangan kaya anak kecil gini"
"Lo denger kan, temui gue sekarang di taman"
"Oke gue bakal temui lo"

Ha, salah paham. Lagi. Sepertinya setiap orang mudah sekali mengatakan 'salah paham'. Entahlah, mungkin iya aku salah paham. Lantas bukti salah penyebutan nama yang terjadi, kejadian di kafe itu, apa itu hanya kebetulan belaka? Apa itu yang dikatakan 'salah paham' ?

Entahlah apa aku kuat menghadapi detik selanjutnya, apa aku harus bertahan dengan kebodohan nyata ini.
"Sayang maafin aku, kamu itu salah paham sayang. Aku sama Fira gada apa apa ko. Kita itu hanya berteman sayang. Cuma kamu yang aku sayang"
"Oh"
"Sayang kamu masih marah ya? Udahan dong sayang marahnya. Masa kamu tega si ngehukum aku kaya gini?
"Terus?"
"Aku tu sayang sama "
"Hey, kayanya aku datang diwaktu yang ga tepat ya? Yaudah aku pergi dulu aja deh"
"Oh kamu datang diwaktu yang sangat tepat ko Fir. Tadi kamu bilang apa Di, kamu sayang sama siapa?"
"Mmm aku sayang sama kamu Gir"
Dan matanya pun bergetar.
"Sayang sama siapa?"
"Sama kamu Gira"
"Yakin Gira? Bukan Fira?"
"Fir gimana tu jawabannya?"
"Maksud lo tu apa si? Jelas-jelas Ardi bilang sayangnya sama lo, bukan sama gue"
"Haha kalian tu emang aktor terbaik deh. Mau sampai kapan si lo berdua tu munafik? Kalian berdua terus aja nyembunyiin ini dari gue. Mau sampai kapan ha?"
"Yang kamu itu salah paham. Kita itu cuma"
"Cuma apa? Cuma saling sayang? Di lo anggap gue ini apa ha selama ini? Jangan lo pikir karna gue diem gue ga tahu apa apa. Gue tahu apa yang kalian lakuin di belakang gue. Gue sengaja diem karna gue pengen lo tu sadar, tapi begonya, lo malah makin jadi"
"Gir ini tu ga kaya yang lo fikir"
"Ga kaya yang gue fikir? Oke sekarang lo jelasin apa arti tatapan lo slama ini ke Ardi? Dan kenapa lo slalu ngilang setiap Ardi pun ilang? Dan waktu kejadian di kafe tempo hari itu, lo bilang lo lagi nungguin temen, tapi kenapa lo malah nungguin bareng Ardi? Selama tiga jam pula pake adegan pegangan tangan segala. Dan tadi, maksud lo itu apa ha?. Dan kenapa setiap gue minjem hp lo slalu dilarang? Karna lo punya foto berdua sama Ardi kan? Dan lo slalu ga kelewat untuk kontakan sama dia, iya kan?"
"Sekarang gue mau lo milih, gue atau Fira?. Tapi lebih baik lo pilih Fira aja deh, karna gue udah enek liat kelakuan lo"
"Gir lo tu salah paham. Gue sama Fira tu gada apa apa"
"Diem lo !! Berani juga lo ngeles setelah semua bukti terungkap. Lo pikir lo tu siapa ha? Lo itu udah mainin hati gue. Lo mikir dong !! Gue mau kita putus !!"
"Tapi Gir.."

Tak kudengarkan lagi semua omong kosong mereka, ku pergi. Kecewa tapi ku puas semua yang ada dalam amarah ini bisa terucap. Meskipun ku harus menerima semua konsekuensinya, tapi aku bersyukur aku bisa lepas dari semua kebohongan mereka.

Enam bulan semenjak kejadian itu, aku tak pernah berhubungan lagi dengan mereka berdua. Meskipun mereka sering menyapaku lewat dunia elektronik maupun ketika berpapasan. Aku terpaksa melakukan ini, bukan karna aku masih merasa sakit tapi aku hanya ingin menghargai mereka dengan tidak mengganggu hidup mereka lagi. Tapi sore itu ketika aku pulang dari kantor, ku temui undangan di bawah celah pintu depan rumah. Ku lihat undangan itu bertuliskan Ardi & Fira. Tertawa ku melihatnya. Akhirnya Tuhan menjawab pertanyaanku, mengapa aku harus merelakan mereka.

Ternyata kasihku untuknya kecil dibandingnkan kasih yang Tuhan berikan untukku. Bersyukur. Kalau saja aku pertahankan hubunganku dengan dia, mungkin aku akan semakin terluka. Dan dia akan semakin menumpuk dosa karna dia harus slalu berbohong. Terimakasih Tuhan, Engkau telah tunjukan orang yang tak pantas untuk ku cintai. Meskipun terkadang aku menyesal telah mengenalnya bahkan telah mencintainya, tapi aku bersyukur karna dia telah tunjukan kepadaku bahwa ia tak pantas untuk mendapatkan semua kasih tulus ini. Bukankah aku harus mendapatkan orang yang salah dulu sebelum mendapatkan orang yang benar. Ya setidaknya semua yang aku berikan tulus meskipun harus terbalaskan oleh rasa sakit. Semoga kalian bahagia.

Rangakain Kata

Malam merambati rinduku yang juga belum berangsur padam. Entah sudah berapa malam yang telah bergulir. Tapi malam ini, masih malam yang sama bahkan dengan dingin yang sama. Aku tak pernah tahu arti dari apa yang aku rasa. Diam, bersembunyi dibalik gelap kerap aku lakukan. Disudut tak menentu ini menjadi tempat ternyaman. Seolah mengerti, ia selalu hadirkan sunyi dengan dingin terbaiknya. Dan kerinduan ini memaksaku membeci malam

Dalam benak slalu bertanya, mengapa bulan dan bintang slalu bersama disetiap malam. Sedangkan kau tak pernah hadir di setiap gelapku?Apakah gelap ini tidak nyata? Atau hanya aku yang terbiasa tanpa cahaya? Tak nampakkah ku dalam harimu? Atau semua ini tak pantas terwujud?

Kau adalah bagian terkecil dari partikel memoriku yang paling aku rindukan. Tatap matamu buatku semakin menyelam dalam khayalku. Dan kamu, seperti biasa jauh dari kenyataan. Aku berkaca pada cermin yang ikut menertawakan rasa takutku. Dekat dalam jarak tak buatku kuasa tuk bersuara. Ada rasa ingin menyapa, namun aku hanya bisa menyimpan kata. Telingamu terlalu indah tuk dengarkan suara hati ini. Meskipun jawaban terbaikku telah ku rangkai, tapi pertanyaan tak pernah mendarat dibibirmu. Salah siapa? Jarak kah? Waktu kah? Atau pena yang tak tuliskan ini untuk kita?

Jangan kau bilang lagi aku harus pasrah pada sang kala.  Karna aku tlah jengah pada setiap denting yang bersuarakan namamu. Mungkin aku harus berguru pada bulan yang menginginkan matahari, tapi ia tahu sebatas mana ia harus bermimpi. Dan kau adalah nyata yang tak bisa ku sentuh.  Jika gelap adalah ketiadaan cahaya, maka hitam adalah lembaran tanpa cinta. Dan kau adalah satu satunya lembaran hitam yang ingin aku beri warna. Tapi mustahil, karna Pemberi Warna hanya hadiahkanku hitam. Bagaimana bisa hitam dengan hitam menjadi pelangi?

Embun pagi hari selalu kirimkan kesejukan untuk siapapun, dan seharusnya termasuk aku. Tapi bagiku tak ada yang berikan kesejukan selain semua tentangmu. Bahkan hangatnya mentari tak bisa gantikan pelukmu. Sadarkah kau, setiap senja yang mentari hadirkan untuk bumi, itu adalah rindu untukmu. Bagaimana bisa, semua rindu ada tempatnya, tapi mungkin kali ini tidak padamu. Atau bahkan selamanya. Mungkin setiap rindu yang aku ciptakan tak boleh untukmu. Lantas salah siapa? Hati ini? Atau rindu ini yang terlalu lancang mengaharapkanmu?

Tolong katakan kemana aku harus mencari Tuhanmu agar aku bisa sampaikan semua rasaku. Aku tak perlu pembenar untuk setiap kata, rasa, dan kekecewaan yang menyelimuti setiap penantianku. Tak perlu, aku hanya ingin Tuhan mengerti bahwa semua tentangku tulus akanmu.

Harapan adalah apa yang aku gantungkan setara bintang, tapi kau hempaskan menjadi serpihan. Tak tahu dirikah? Atau engkau yang terlalu tinggi untuk ku gapai? Bahkan langit menunggu matiku, terhimpit harapan yang seharusnya tak menumpuk. Tapi harap ini seperti kuku jemari yang selalu tumbuh meski dipangkas setiap hari. Seberapa keras ku menjerit, bintang takan pernah meninggalkan langit. Meski ku memohon meronta, bintang takan wujudkan kau tuk bernafas. Kelak huruf akan terangkai menjadi kata, yang menunggu untuk diucapkan atau mengendap sebatas harapan. Dan saat itu pula, semua tlah sirna, pergi jauh tersapu oleh angin.

Tak cukup keraskah ku berteriak pada langit yang tetap membisu dibalik kelabu? Atau langit tak mendengar? Ombak pun selalu merindukan pantai, tapi gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Terhempas dibalik karang tapi ia tak lelah. Andai. Tapi jiwa ini menciut. Dan kau tak perlu bersentuhan untuk buat jiwa ini remuk hingga menjadi serpihan. Karena angin telah terbangkannya. Jadi, tertawalah.

Bulan bersembunyi dibalik langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Mungkin harus ada yang terluka, untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Biarkanlah aku menjadi abu, sampai hembus terakhir keluh kesahmu. Mungkin untuk saat ini hanya sunyi senyap yang mengerti kesendirianku. Aku harap tak pernah ada persimpangan jalan, dimana teduhnya tatapanmu hanya ku sebut kenangan. Aku adalah titik terendah dalam dingin dan kelamnya hidup. Aku adalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan tanpa bertanya. Tapi aku bukan senja yang dapat merelakan matahari.

Kamu adalah apa yang selalu aku tulis dalam cerita dan aku adalah apa yang tak pernah kau baca. Seperti matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan terpendam ditempat yang dalam. Pada akhirnya takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Jika waktu telah berjalan, aku harap sesal tak pernah bawamu kembali. Bahkan jika kau hanya bosan menanti anggaplah aku mati. Karena aku takan bisa menolak tuk buatmu tersenyum.

Sabtu, 14 Februari 2015

Selamat Jalan

"Sayang aku rindu"
"Aku juga rindu kamu sayang, cepatlah kau kembali"
Itulah kata yang tak pernah absen ketika aku dannya berbicara. Lewat huruf dan suara pastinya. Tiga tahun sudah kita jalani kisah ini dengan perbedaan jarak yang begitu jauh. 396km bukanlah jarak yang pendek, terlebih untuk rindu yang selalu kita pupuk. Keinginannya membawa kisah ini berjarak sangat jauh. Aku tahu ia melakukan hal ini demi cita citanya tuk menjadi penyair handal. Ia dalami bahasa yang Tuhan beri lewat para pengajar. Dan aku takan pernah menghalanginya.
Tapi malam itu, sepertinya rindu kita sedang berada dipuncaknya. Tak jelas sebabnya tapi sungguh aku merasa sangat ingin ia berada di sampingku saat ini, tuk tenangkan aku. Dan dia seperti biasanya hanya bisa menyabarkanku. Dan sudah ritualku, aku membencinya.
"Iya aku bakal cepat pulang, tapi kan studiku belum beres, aku harus selesain dulu skripsiku. Tiga bulan lagi aku pasti akan kerumahmu, melepas semua rindumu dan mengucap janji didepan kedua orang tuamu"
"Tiga bulan lagi? Sayang itu bukan waktu yang sebentar. Aku butuh kamu sekarang, aku rindu. Sangat rindu !!"
"Aku juga rindu sayang, tapi kamu juga harus ngerti dong dengan keadaan aku saat ini"
Ya itulah dirinya, memaksa aku harus mengerti keadaannya. Andai saja aku bisa lebih mengerti keadaannya. Tapi maaf sayang rindu ini sangat menyiksa hati.
Empat bulan yang lalu, tepat dihari ulang tahunku. Ia tiba tiba datang beriku kejutan. Saat hari kan berpindah ia datang. Aku tak bisa apa apa. Aku hanya bisa merasakan bahagia saat itu, dirinya ada dihadapanku. Ya dihadapanku. Tak pikir lama tubuhku sudah peluk erat tubuhnya. Aahh rasanya seperti magnet yang bertemu dengan kutubnya. Enggan aku melepaskannya. Ia ajakku berkeliling kota ini, habiskan malam ini hanya untuk aku. Saat matahari masih sibuk dibelahan bumi lain. Ia mengajakku menuju dingin disudut kota ini. Tak ada macet, tak ada kebisingan, hanya dingin, dirinya dan aku dan juga teh hangat yang ditemani jagung bakar ini. Berbincang ini dan itu dan juga tentang rindu ini. Ia selalu tahu caranya buatku bahagia. Ia bawaku ke tempat tertinggi kota ini, dan dia tunjukkan aku cahaya bumi ini. Perlahan kita saksikan. Takjub ku dibuatnya. Dan hangat ku dibuat oleh dirinya. Saat sang mentari merangkak naik, ia berlutut didepanku, tangan kanannya menengadah meminta tanganku. Ia berucap manis sekali saat itu "maukah kau menjadi makmum disetiap sujudku?".
Anggukan kepala ini spontan berikan ia jawaban. Aaah bahagia sekali aku saat itu. Sorakan ayah ibu kita buatku semakin kaget. Aahh ia selalu bisa buatku terkejut. Ia lingkarkan cincin indah itu dijemari tanganku. Bahagia aku, sungguh bahagia. Dan matahari pun berikan sinar terbaiknya untukku.

Dua hari ia berikan aku waktunya. Tapi sungguh, itu sangat sebentar sekali sayang. Ku tahu ia korbankan waktu belajarnya untukku, tapi sungguh sayang aku masih ingin kau berada disini.
Ia merengek paksa aku tuk antarkannya pergi. Tapi sungguh aku tak sanggup sayang. Baru kemarin dirinya buatku bahagia, dan kini ia buatku harus menangis melepas kepergiannya. Tak sanggup aku mengantarnya sampai pintu keberangkatan. Ku lepas kepergiannya dipinggir lobi ini. Ku peluk erat dirinya. Ku tahu ia pun tak ingin meninggalkanku tapi semua tugasnya sudah memanggilnya.
"Jangan cengeng, aku bakal pulang cepet ko. Kalau skripsiku beres aku pasti bakal cepet pulang, dan bawa kamu ke keliling dunia, seperti yang selalu kita impikan sayang"
"Janji ya kamu cepet pulang, aku pasti bakal rindu berat sama kamu"
Kecupan indahnya mendarat dikeningku, buatku tenang sekaligus semakin berat melepaskanya. Sekali lagi ku peluk dirinya dan sekali lagi aku menangisinya. Terdengar suara perempuan memberikan informasi bahwa pesawat yang akan ia tumpangi akan segera mengudara. Ia paksa lepaskan pelukan ini. Ia mulai berjalan bawa kopernya, dengan senyuman dan dengan berat hati ia melangkah tinggalkanku.
"Sayaaaanngg". Ku panggil dirinya tak jauh setelah dirinya melangkah. Ia pun menoleh
"Jangan nakal !!". Aku dan dirinya mengatakan hal yang sama, buat kita tertawa. Simbol oke pun kita berikan, tanda perjanjian.
Entahlah, aku pun tak tahu mengapa perpisahan kali ini terasa berat sekali. Buatku cengeng.

Hari demi hari kita lalui dengan rindu yang sangat menyiksa. Hanya suara, dan huruf yang rajin menyapa, wakilkan rindu hati ini. Sesekali ku bisa lihat wajahnya lewat skype. Dan aku semakin rindu. Dan puncaknya hari ini, tak bisa aku tahan lagi, aku benar benar rindu, rapuh tanpanya. Dan dia masih saja bisa paksa ku bersabar, meskipun aku tahu ia pun tak sanggup menjalaninya.
Kita bercerita, bicarakan hari ini yang dilalui oleh rindu didalamnya. Tawa, kesal warnai bincang kita.
"Kamu itu selalu buat aku nunggu deh"
"Tapi kamu sayang kan?"
"Kata siapa aku sayang sama kamu?"
"Aku tahu kamu sayang, meskipun kamu lagi bohong aku tahu kamu"
"Iya deh iya aku ngalah, aku sayang banget sama kamu, dan aku gamau kehilangan kamu, cepet pulang sayang"
Lama ku tunggu tak ada balasan darinya, bahkan tak ada simbol yang menunjukan bahwa pesanku ia baca. Mungkin ia sudah terlelap.
"Selamat tidur sayang"
Aku terlelap setelah kirimkan ucapanku, dengan ditemani rasa rindu tentunya. Baru saja beberapa jam aku terlepap. Suara telepon ku berbunyi keras sekali. Awalnya tak ku hiraukan, tapi semakin lama, semakin menjengkelkan. Ia terus berbunyi lagi dan lagi.  Terpaksa ku angkat telepon itu, dengan suara setengah sadar ku mulai bersuara.
"Halo?"
"Halo Rara, kamu lagi dimana?"
"Lagi dirumah, ini siapa?"
"Ini mamah sayang, mamahnya Kiki. Rara kamu sekarang harus ke Yogya ya sayang"
"Ke Yogya? Sekarang? Ada apa mah?"
"Udah pokonya sekarang kamu harus ke Yogya ya sayang mamah tunggu"
Tanpa pikir panjang ku bergegas menuju ke bandara. Pukul delapan pagi, ku injakkan kakiku ditanah Yogya ini. Ternyata ku sudah ditunggu oleh Ka Arif.
"Ada apa ya ka ko aku disuruh ke Yogya mendadak gini si?"
"Nanti juga kamu tahu sendiri"
" Terus sekarang kita mau kemana ka?
"Nanti juga kamu tahu sendiri"
Ku hanya mengangguk. Senang rasanya berada di kota ini. Karna ini berarti aku dan dirinya saat ini dekat, dan kita akan berjumpa, melepas rindu. Aku sengaja tak memberitahukannya jika aku sedang di Yogya. Aku ingin memberikan kejutan, sama seperti yang sering ia lakukan padaku.
Tersadar pada lamunanku, ternyata kita berbelok pada sebuah gerbang bertuliskan rumah sakit. Aku tenangkan diriku. Aku bertanya pada Ka Arif kenapa kita disini ia hanya diam. Semakin panik ku rasa. Masuki lorong, ku lihat para medis sudah sibuk melayani. Orang sakit, yang mengantar, para perawat, dokter berbaur menjadi satu, semakin buatku tegang. Terlebih aroma khas rumah sakit membuatku semakin mual. Tiba didepan pintu kamar bertuliskan 205. Jendela yang ada didepan pintu tak bisa bantuku melihat kedalam. Rasa tegang yang sedari tadi ada pun kini berpacu dengan rasa takut. Ka Arif bukakan pintu kamar, ia sudah lewati batas ruangan luar dengan ruangan kamar. Dan aku masih berada diluar ruangan kamar. Ka Arif paksaku tuk masuk.
Saat ku ayunkan kaki kananku, detak jantung ini semakin kencang memompa darah ini, buat detak jantungku semakin berirama keras. Ku terus ayunkan kakiku dengan takut hingga akhirnya tiba didepan tempat tidur beroda. Ya Tuhan. Seketika aku berurai air mata. Tak percaya dengan apa yang aku lihat saat itu. Ya Tuhan. Dibalut perban dan alat pernafasan ia tebaring kesatikan. Tak bisa aku berkata apa apa aku hanya bisa terdiam dan langsung memeluknya. Cucuran air mata tak tertahankan, semakin deras di setiap tetesannya.
"Malam dia itu mau pulang ke Bandung, mau ketemu kamu. Dia sudah diwisuda kemarin pagi. Dia sengaja ga ngasih kabar ke kamu tentang rencana dia pulang dan tentang wisudanya ini, dia pengen ngasih kejutan. Waktu dia mau ke bandara, taksi yang ditumpanginya ternyata ketabrak truk. Supir taksi meninggal ditempat. Alhamdulillah Kiki masih dikasih kesempatan untuk selamat, meskipun keadaan dia saat ini seperti ini. Maaf mamah nyuruh kamu kesini tiba tiba dan ga ngasih tahu dulu sebelumnya, mamah takut kamu ga bisa nerima ini semua"
Semakin kencang air mata ini berjatuhan. Sekali lagi kau buatku menangis sayang.

Setia ku berada disampingnya, menunggu dirinya yang sedang terlelap dalam dunia bawah sadarnya. Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Ku hanya bisa menangis sembari berharap Ia kan beri mukjizatnya. Ku bercerita tentang semuanya, tentang rindu, tentang kekhawatiranku meskipun tak ada respon tapi ku berharap ia kan mendengarnya.

Dihari ketiga ini, ia berikan tanda kehidupan. Akhirnya ia sadar dari komanya. Mukjizat-Nya mengalir padanya, kekasihku. Ia tersenyum padaku meski masih mengingat. Semua mengucap syukur, dan aku sangat bahagia. Harapku akan kesembuhannya semakin meningkat. Seperti biasa ku duduk disampingnya, bercerita ini dan itu, temaninya, kuatkannya. Beberapa waktu setelah masa itu, ia beranjak pulih. Dan aku masih disini untukmu sayang.
"Sayang, apa kau mencintaiku?"
"Aku sangat mencintaimu sayang, kamu cepet sembuh ya sayang, aku pingin meluk kamu erat sekali"
"Aku juga sangat mencintaimu sayang. Sayang aku ingin bertanya padamu"
Ia mendadak serius. Aku ingat ketika dirinya pertama kali berbicara serius padaku. Ketika itu ia memintaku tuk jadikan aku sebagai bagian dari hidupnya.
"Ada apa sayang? Serius banget deh. Jangan serius serius ah kan kamu masih sakit sayang"
Ia hanya tersenyum. Dan tangannya mendadak semakin erat genggam tanganku, seolah ia tak ingin lepaskanku.
"Aku sayang banget sama kamu sayang. Sayang banget. Dan aku harap kamu bisa merasakannya. Sayang bagaimana jika aku tak bisa tepati janjiku padamu? Bagaimana jika aku tak bisa bawamu ke tempat impianmu? Bagaimana jika aku tak bisa mengucap janji didepan orang tuamu?"
Tak kuasa aku mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menangis mendengar itu semua. Kini giliranku yang semakin erat menggenggam tangannya. Ku coba keluarkan suara ini meski dengan iringan tangis.
"Kamu ngomong apa si sayang. Kamu mau ingkar janji sama aku? Kamu udah ga sayang lagi sama aku? Kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu, dan aku gamau kamu pergi dari aku"
"Maaf sayang aku ga bermaksud untuk ingkari semua janji aku. Tapi aku hanya takut tak bisa menjadi seperti apa yang kau mau. Aku takut tak bisa wujudkan semua impian kamu. Impian kita"
"Sayang aku percaya kamu bakal sembuh dan kamu bakal tepatin semua janji kamu dan kita akan wujudin semua impian kita. Sayang kamu janjikan kamu bakal sembuh?"
"Sayang, aku akan mencintaimu selama aku bisa, aku akan selalu ada disampingmu, menjagamu, memelukmu. Sayang, kamu percaya kan sama cinta sejati. Aku selalu berharap cinta yang kita punya ini adalah cinta sejati. Meskipun aku dan dirimu terpisah ruang dan waktu tapi cinta kita kan selalu ada, tetap tumbuh dihati kita. Meskipun aku tak bisa lagi memelukmu dan menjagamu lewat raga ini, tapi aku kan menjagamu lewat cinta ini. Sayang, aku kan selalu berdoa tuk jadikanmu bidadariku dalam surga-Nya kelak. Sayang, aku, kamu dan semua yang kita miliki hanyalah titipan dan semua itu adalah milik-Nya. Sayang aku minta maaf jika aku tak akan pernah bisa menepati semua janjiku. Tapi aku selalu berdoa agar Tuhan mau memberikan aku waktu sedikit lagi untuk bisa membuatmu tersenyum kembali. Mau kah kau memaafkanku?"
Suara tangisku semakin kencang.
"Rara yang aku kenal adalah wanita tangguh dengan segala tingkah konyolnya, pemaaf, dan selalu ceria. Dan aku selalu jatuh hati setiap kali kamu jutek, cuek. Karna aku tahu kamu punya kasih yang tulus, dan sifat pemaaf"
Aku beranikan diri melihat matanya yang sedari tadi mengeluarkan tangisannya
"Sayang, aku sangat menyayangimu. Semua yang ada pada dirimu aku menyukainya. Kau yang selalu buat aku tertawa, menangis, kesal, menunggu. Dan kau yang selalu ajarkan aku mengerti, mendengar, memaafkan. Sayang aku hanya manusia biasa yang ingin semua harapnya bisa terwujud. Terlebih jika yang mewujudkannya itu adalah orang yang paling aku sayangi. Aku tahu Tuhan selalu punya cara agar makhluknya mengerti dan memaafkan. Aku percaya bahwa Tuhan selalu punyai "waktu" agar makhluknya bisa mewujudkan impiannya. Sayang aku belajar tuk bisa memaafkanmu jika kau sudah menyerah tuk menepati semua janjimu. Karna aku percaya, kau selalu tahu kapan kau harus melangkah dan kapan kau harus tinggal. Sayang kau adalah segalanya bagiku. Jika kau meminta aku kan menepatinya. Karna aku tahu Tuhan ciptakan kau hanya untukku, dan aku percaya Tuhan kan berikan alasannya jika Ia ingin memilikimu kembali"
"Aku selalu tahu kau selalu punya alasan tuk menerima. Aku menyangimu Ra"
Tak tahan lagi, aku pelukmu erat, lepaskan semua sakit ini. Ya Tuhan, aku menyayanginya. Tak berapa lama, Tuhan berikan jalan padanya untuk bahagia.
Tangisku pecah dalam ruangan. Keras, semakin keras. Ku peluk tubuhnya yang hangat yang perlahan menjadi dingin. Kaku. Ia tidur tenang seolah semua sudah ia ketahui. Dan aku, hanya bisa menangis. Meratapi kepergiannya. Ya Tuhan apa aku bisa lewati ini semua.

Setelah rangkaian pengurusan jenazah selesai. Ini adalah waktu yang aku takuti. Mengantarkannya menuju peristirahatan terakhir, yang dingin dan gelap. Iring iringan jenazah keras menyebut kalimat tahlil. Ya Tuhan kuatkan aku.
Memasuki taman pemakaman. Berjejer "ruang tidur". Dan ia akan tidur dan menjadi penghuni tempat ini.
Tubuhnya mulai diangkat menuju tempat yang sebenarnya. Perlahan tanah mulai mengubur tubuhnya. Semakin lama semakin menggunung tanah itu selimuti tubuhnya. Doa sebagai penutup menghantarkannya menuju dekapan-Nya.
Didepan nisannya lagi lagi ku menangis, menatapnya. Kini tak ada lagi dirinya yang akan memelukku, beri ku kejutan, beri ku kecupan manis dikeningku. Tak ada lagi yang membuatku menangis, membuatku kesal, membuatku tersenyum. Tak ada lagi yang akan membuatku menunggu, mengajarkanku tuk mengerti. Memaksaku tuk bersabar. Tapi ia akan selalu membuatku merindu. Selalu.

Sekarang aku mengerti mengapa malam itu aku sangat merindukanmu dan menginginkanmu tuk ada disampingku, sekarang aku mengerti sayang. Sayang maafkan aku yang tak pernah bisa mengertimu, aku harap kau kan selalu mengerti akan rindu ini sayang. Kasihku, rinduku, selalu dalam doa yang kuhantarkan untukmu dan semoga aku akan tetap menjadi bagian dari hidupmu yang kekal kelak. Selamat beristirahat sayang, rinduku akan membawaku dalam doa untukmu.

Jumat, 30 Januari 2015

Bintang Malam Ini

Malam ini tak seperti biasanya, langit berbaik hati pada bumi tampakkan pesonanya. Bintang dengan cerianya tersenyum, berbaris bentukkan rasi. Tanpa ditemani awan, bintang kuasai gelap, rembulan menyaksikan dari jauh.   Disini, disatu sisi paling nyaman ditanah ini dengan beralaskan bangku kayu bercat senada dengan warna khas kayu disamping pohon rindang, ku letakkan bagian belakang tubuh ini dengan santainya, tanpa beban hanya sebotol minuman dan tas dengan isinya yang sudah seperti nyawa dalam raga ini. Ku lihat sekeliling, para jiwa sibuk melangkah semaunya terlihat tak terarah, dengan tangan menggenggam jemari kasih, seolah takut kehilangan padahal hatinya tak terfokus.   Hela nafas dalam sela kebisingan, buat lihatku keatas. Maha dahsyat malam ini, langit gelap sedang berpesta, munculkan cahaya abadi tak berbayar, tanpa penggangu hanya aku, langit dan sang bintang.
Mataku menerka satukan bintang bintang jadi bentuk semauku. Entahlah ini khayal atau pandangku mulai kabur, bintang bentukkan wajahmu. Terbelalak lama menatap, khayalku menjemput hari lalu. Tawa, tangis, amarah, kecewa, menyatu terbang menuju bentukkanmu. Tak tersadar, tetesan air keluar dari mata ini lewati pipi tanpa permisi, perlahan tapi pasti. Kenangmu masih memelukku. Semakin cepat lewati pipi tanpa sadar jemari ini sudah sibuk mengusapnya. Dalam pandangan bentukmu, satu bintang dengan kejutnya bersinar terang kalahkan lainnya seolah dia juara, buatku tersadar. Dengan segera ku hentikan tetesan ini. Ku masih liat panggung bintang itu. Tersirat tanya, lihatkah kau malam ini? Apa kau bentuk rasimu jua? Apakah kita masih disatu langit yang sama? Berjalan, berlari, menangis, tertawa berharap, berteduh pada kolong langit yang sama, menuju satu titik kasih dibawah tangan-Nya ? Masih kah? Tolong katakan iya !
Ku lihat sekeliling, alih kan pandangku, para jiwa itu masih sibuk dengan geraknya, ucap sayanglah, kecup nafsulah, terfokus layar genggamanlah, tak juga buatku hentikan berfikir tentangmu. Lalu lalang suara bising pun seolah jadi alunan memperkuat tentangmu. Seolah suruhmu, pandangku kembali menatap langit gelap dengan taburan bintang yang tadinya aku senangi kini aku tangisi. Dibintang terang itu, kau seolah ajakku kembali pada masa itu, masa dimana semua ku pikir baik-baik saja.   Kau genggam erat jemari ini seakan aku kan berlari tanpamu. Kau bisikkan sajak cintamu buatku percaya. Tatapmu dalam memeluk hati ini lewat pandangku, kuatkan ku bahwa kau nyata. Hari seakan iri, menit loncati angka dalam bulan dengan terburu buru. Lalui, lalui, dan lalui. Silih berganti suasana ini, tapi tetap kasih yang juara. Hingga semua terkuak, tak sanggup lagi terbendung, luapan amarah bak raja usir kasih. Katapun tak berdaya. Tanganku dengan sigap pelukmu dengan hati, tapi rontaan yang kau beri seolah ku asing. Tetesan ini kita keluarkan bersama, tanda rasa itu sebenarnya masih ada, dipojokkan amarah. Tanyaku menyeruak, "tak bisakah kita bertahan?". Kau pergi dengan kebisuanmu, hanya tatapanmu yang menjawab ya, aku tau itu tulus tapi kau tau mau akui.
Pegal dirasa, logika sadarkan ku tuk hentikan semua ini. Ku teguk minuman yang ada disampingku, setidaknya itu bisa menjadi penenang. Sedang ku hapus semua sakitku. Terdengar alunan nada dari balik tasku, ku ambil telepon genggamku, namamu ada dalam layarku, terpampang jelas. Entahlah apa maksudnya. Ku diamkan, tak lama semua itu terhenti dengan sendirinya, segara ku letakkan kembali. Baru saja aku akan meneguk kembali minuman tanpa rasa ini, alunan dari telepon genggamku kembali berdering, satu pesan masuk, namamu kembali muncul. Dengan setengah hati ku buka pesanmu, "lihatlah bintang sedang berpesta". Tanpa ku balas, ku masukkan kembali benda itu ketempat semula, berharap jangan lagi berbunyi.
Tegukkan demi tegukkan ku lakukan, tapi tak bisa tenangkanku. Air mata kembali pecah, kembali semua kenangmu berlari dalam khayalku. Ku lihat pada langit, masih sinarkan bintangnya. "Apa kau juga sedang melihat bintang ini? Apa bintangmu dan bintangku juga sama? Apa kau lihat aku dalam bintangmu? Apa kau sedang berfikir sama denganku?"
Air mata masih berurai. Seketika ku teringat akan ucapmu "tak usah kau menangis karena air matamu kan membawaku jauh darimu, kau tau? Meski kita jauh, tapi tak dengan bintang kita. Saat bintang muncul, pandangilah karena ku juga sedang memandanginya meski kau tak denganku".
Sigap jari jari ku mengusap habis air ini. Ucapmu seperti kekuatan untukku, hentikan tangis ini, hentikan sakit ini. Lelah ku rasa. Ku lihat jam ditangan, pukul sudah tunjukkan angka 10. Segera ku siapkan tenaga tuk menopang beban berat ini. Sekali lagi ku lihat keatas "terima kasih, bintangmu sungguh buat kau nyata". Ku tegakkan tubuh ini, mulai ku melangkah pergi lewati kebisingan yang lalu lalang ditemani cahaya milik negara dan juga bintangmu.

Permainan Waktu

Dalam hening sebuah ruangan, terdengar suara langkah jam dinding begitu keras, seolah memaksaku tuk menemaninya agar ia tetap terjaga. Ku baringkan tubuh ini pada sebuah kasur dibalut selimut hangat, pada sebuah bantal ku letakkan kepala ini, berharap pikiranku pulas menuju negeri mimpi. Kupejamkan mata ini, tapi telingaku seolah terus menghadap pada langkah arah jam. Pikiranku yang berjalan menuju negeri mimpi pun terhenti pada sebuah jalan yang penuh rangkaian gambar. Ia memandanginya dengan seksama, seolah tahu sesuatu. Ku terbangun, tapi tidak dengan pikiranku, ia memaksaku tuk mengingat. Ku coba pikirkan hal lain berharap rangkaian gambar itu pudar, tapi sia sia ku dapat. Ia tetap memaksaku tuk mengingat. Ku coba ikuti maunya meski dengan takut dan penuh ragu.
Dalam perjalanan menuju ingatan itu, tak ku sangka ku bertemu dengan sesosok air mata. Ku tersenyum padanya berharap ia kan menghentikan tangisannya itu. Ia datang menghampiriku berbisik lirih "jangan kau teruskan ingatanmu itu". Ku terdiam bingung sembari memandanginya "apa maksudmu?". Ia hanya diam dan terus berucap kalimat itu. Tak ku hiraukan ia, ku melanjutkan langkahku meski semakin takut ku rasa. Perjalananku kini ditemani sang air mata yang tak mau berhenti mengucapkan hal itu. Entah, tapi ku lihat samar samar sebuah gambar, rasa penasaran mendorongku tuk menghampirinya, tapi sayang ku tak bisa tahu gambar apa itu. Terus ku susuri jalan itu, dan rangkaian gambar itu pun semakin banyak, memicuku tuk terus mencari.
Dalam langkah menuju ingatan itu ku bertemu dengan sesosok amarah yang dari jauh sudah lantang berucap "JANGAN KAU TERUSKAN INGATANMU ITU !!!". Semakin dekat jarak kita, semakin keras ia mengucapkan itu. "Apa maksudmu?". Ia pun hanya terdiam dan terus berucap hal itu tanpa menanggapi pertanyaanku. Sang air mata yang berada disampingku terus menangis sembari mengucapkan hal yang sama. Ku pandangi mereka berdua, ku coba bertanya lagi "apa maksudmu?". Tapi nihil ku dapat, mereka hanya berkata "Jangan kau teruskan ingatanmu itu".
Rangkaian gambar itu semakin jelas dan mulai terasa nyata. Ku melangkah dan terus melangkah. Pada sebuah persimpangan jalan ku lihat sebuah kisah, kisah yang dulu pernah ku lalui dalam hari. Entah, tapi aku hanya bisa melihatnya yang memaksaku tuk menangis. Ya Tuhan, aku pernah ada dalam kisah itu. Ku pandangi terus, ku lihat rona bahagia pada wajahku saat itu. Tak ku elakkan mataku pada kisah itu. Tak ku sangka wajah manis nan elok muncul perlahan. Ku masuki matanya, berharap ku temukan kenyataan. Ya Tuhan, dia sungguh sangat nyata. Dia terus bermain dalam kisah itu. Perannya sungguh luar biasa, penuh penghayatan, penuh perhatian, penuh kasih sayang. Ku lihat, ku sangat bahagia dalam kisah itu, ku mainkan peranku dengan maksimal.
Semakin nyata ku lihat bahagia pada wajah mereka. Rangkaian kasih sayang dibalut perhatian penuh cinta begitu kental terasa. Semakin hari semakin jadi, semakin tumbuh, tumbuh dan tumbuh, membuat ku tersenyum haru. Tapi entah mengapa, bahagia itu semakin lama semakin memudar. Senyum yang dulu selalu mereka berikan kini berkurang dan semakin menghilang. Cinta yang masih dalam masa perkembanganpun semakin layu bertanda lemah tak tertahan. Ku bertanya penuh tangis "ada apa ini ?".
Pada sebuah peran ku lihat sebuah kesalahan. Entah, entah dari mana datangnya kesalahan itu, mereka kah yang mengundang kesalahan itu atau sang waktu kah yang mengantarkannya pada mereka, atau mungkin kesalahan kah yang menjemput sang waktu?.  Ku meronta memaksa ingin masuk tuk menghentikan kesalahan itu, tapi apa daya, kisah tetap berlanjut. Kesalahan itu pun semakin menjadi, seolah ia adalah tuan rumahnya. Ku teteskan air mata ini seraya menjerit "Tolong hentikan kesalahan itu". Tak ada satupun yang mendengar pintaku itu. Kisah berlanjut menjadi tragis. Sebuah kisah yang dulu penuh kasih sayang, penuh cinta, penuh perhatian, penuh rindu, kini harus berubah menjadi sebuah kisah penuh tangis, penuh kecurigaan, penuh amarah, penuh kekecewaan. "Tolong hentikan kesalahan itu", semakin lirih ku meminta, semakin jadi kesalahan itu.
Hingga pada suatu waktu pada sebuah peran, tak ku sangka sang waktu berani memunculkan detik itu. Tak terdengar seberapa keras tawa kesalahan pada saat itu, yang ku tahu kita sama sama memeluk rasa kecewa, sebuah rasa yang ku kira takan pernah ada dalam kisah kita, tapi ternyata kusalah. Rasa itu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Air mata jatuh tak terhankan, deras, semakin deras, terus mengalir deras tak hiraukan tampungan tangisanku sudah habis atau belum. Dia terus memaksaku tuk mengeluarkan air mata ini, tak peduli dengan tanganku yang sudah letih menghapus jalannya air mata dalam pipi.
Ketidaksanggupanku melihat kisah yang ku kira akan berakhir bahagia itu membuatku memutuskan tuk berhenti melangkah maju dan memutuskan tuk keluar. Ku berjalan ke belakang, semakin cepat, cepat dan ku berlari menuju jalan awal yang ku lalui tadi. Aku marah pada diriku, dia, pada semua.
"Mengapa semua ini terjadi? Mengapa tak kau beritahu aku sebelumnya?". Bisu. Lagi lagi kebisuan yang ku dapat. Tak ada jawaban nyata yang bisa mereka berikan padaku
"Jangan kau teruskan ingatanmu itu"
"Kau memintaku tuk tak meneruskan langkahku tuk mengingat ingatan itu, tapi mengapa tak pernah kau sebutkan alasanmu itu? Mengapa? Apa kau bahagia melihatku tersiksa melihat kisah itu? Mengapa? Apa alasanmu?"
Mereka hanya menatapku. Ku teruskan langkah mundurku. Sesaat setelah ku ayunkan kaki ini, mereka berkata "jika kau ingin mengetahui jawabannya, teruslah kau berjalan kedepan, disana kau kan menemui kisahmu yang utuh. Jika kau teruskan langkah mundurmu itu, kau kan tersesat dan sampai kapanpun kau takan pernah menemukan jawaban pasti atas semua pertanyaanmu itu".
Seketika ku terhenti. Ku tolehkan wajahku pada mereka, lambaian tangan yang ku lihat menyuruhku kembali pada mereka tuk meneruskan langkahku. Ku balikkan langkahku menuju mereka. Ku ikuti pinta mereka, ku terus berjalan maju. Benar, ku lihat pelangi indah melingkar. Cantik, sangat cantik. Pesona warnanya menghipnotisku agar cepat sampai padanya. Ku berlari sekencang mungkin tuk menghampirinya. Tepat didepannya, ku pandangi ia, decak kagum ku melihat sang warna. Ketika sedang asyik memandanginya, suatu sosok muncul memecahkan pandanganku.
"Apakah kau sedang mencari jawaban atas semua pertanyaanmu? Ikutilah aku dan berjanjilah tuk tidak akan pernah menangis apapun yang terjadi, dan jika kau mengingkari kau hanya akan dapat penyesalan dan terjebak dalam kata itu. Berjanjilah".
Ku pandang semuanya, ku yakini hati ini bahwa aku bisa tuk memenuhi janji itu, anggukan pun terjadi meski masih ada keraguan apa aku bisa tuk tidak menangis. Tapi pertanyaanku membantuku tuk meyakini hati ini bahwa ku kuat.
"Dulu, dulu adalah waktu yang sangat indah bagi kau dan dia" sosok itu pun mulai berucap.
"Kalian selalu menghabiskan waktu berdua, penuh canda, penuh tawa, penuh kekonyolan yang selalu dihias begitu cantik dengan kasih sayang, perhatian, penuh cinta dan kerinduan. Meski awal perjalanan kalian tidak semulus semestinya, tapi cinta membimbing kalian tuk melewati itu semua. Ceria yang selalu kalian tampilkan di setiap detik kebersamaan, membuat sang jarak cemburu. Tapi cinta selalu dapat membuat jembatannya tak peduli dimana dan seberapa jauh titik temu itu. Hingga suatu waktu yang lain memunculkan suatu kesalahan. Tak bisa terhindarkan, kata kata pun mengisyaratkan perang. Tapi cinta punya senjata ampuh tuk menghentikannya, melalui maaf yang terucap lewat kerinduan. Kalian teruskan kisah itu, semakin hari semakin jadi, semakin tumbuh. Tapi, kecemburuan sang takut pun semakin besar seiring tumbuhnya cinta itu. Lagi, perang kata terjadi. Hingga pada suatu waktu yang senja, lidah tak bertulang mengeluarkan kekecewaannya. Kau terdiam berpura pura kuat tuk menutupi semua. Dan entah dari mana anggukan itu bisa keluar dari kepalamu"
Ku hanya bisa terdiam, tak tahan ingin ku menangis sekencang mungkin. Tapi sosok itu menyentakku " INGAT JANJIMU !!!". Sontak ku terkejut membuat air mata ini tak jadi keluar.
"Detik berubah seketika setelah peristiwa itu. Tawa yang dulu selalu terdengar berubah menjadi tangisan tak terhenti. Kecewa, marah, perasaan sakit berbaur menjadi satu pada masing masing hati. Kalian sama sama ingin merindu, tapi kecewa kalian sama sama kuat. Kalian terus menahan, tapi tidak dengan kasih dan cinta yang kalian punya. Mereka terus mencari jalan tuk bisa bertemu dengan labuhannya, meskipun terkadang jalan buntu yang mereka dapati. Mereka terus mencari, terus, dan terus tanpa henti, hingga pada akhirnya mereka bertemu sang waktu. Merekapun bertanya apa yang harus mereka lakukan, sang waktu hanya menjawab "Teruskanlah langkahmu".
"Apa maksudmu?"
"Jika kalian yakin dengan langkah kalian teruskanlah langkah itu, jika kalian tak yakin, usaikanlah langkah itu". "Tapi kami ingin tinggal pada hati itu, sebuah tempat yang nyaman penuh kasih, hangat dan penuh rindu. Kami tetap ingin mencarinya".
"Percuma jika kalian tetap mencarinya, karena rasa kecewa pada masing masing tuan kalian masih tersisa. Pulanglah pada tuan kalian, sembuhkanlah kecewa itu, karena kecewa itu kan memberikan arah mana yang harus kalian lalui, yaitu keikhlasan. Jika keikhlasan telah muncul, ia kan memberikan jawaban pasti pada kalian dan tuan kalian, bertahan atau pergi. Sesuatu yang bertahan tidak selamanya kan baik seperti sediakala. Dan sesuatu yang pergi tak selamanya tak mengasihi. Setiap keputusan pasti akan ada akibat yang harus dilalui, sembuhkanlah kecewa itu dan kan kalian dapati jawaban yang kalian cari".
"Apa kau sudah mengerti?"
Diam, ku hanya bisa terdiam mencerna apa yang telah terjadi. Perasaan tak percaya menyelimuti hati ini.
"Aku adalah bahagiamu, hatimu yang harus kau jaga.Jangan kau paksakan hatimu yang sudah sembuh itu pada sebuah kesakitan. Aku tahu kau sudah berguru pada keikhlasan, lawanlah sakitmu itu yang sekarang sedang merayumu tuk merasakannya kembali. Aku tahu kau kuat, tak ku lihat lagi tangisan ratapanmu dalam mata indahmu itu. Berhentilah tuk merasa takut. Kau tahu? Didepan sana kan ada seorang yang gagah berani menunggumu meminta kau tuk menunggangi kuda putihnya, memintamu tuk terus ada disampingnya, tak peduli seberapa lemah, kecewa dan takutnya dirimu. Percayalah kau kan terbang bersama ia yang menyayangimu".

Entahlah

Sungguh, setiap aku mendengar dan terfikirkan oleh hal itu aku tidak bisa berucap apapun. Entahlah, aku pun tak mengerti, tapi sungguh Tuhan, aku tak pernah bermaksud untuk mengingkari nikmat Mu, tapi sungguh aku tak mengerti.
Entahlah, mungkin ini hanya sebuah takut tiada arti, tapi jika ia tak mempunyai arti mengapa aku harus tak bisa berucap? Atau mungkin ini hanyalah sebuah lelah yang berkepanjangan? Entahlah, atau mungkin cahaya mempunyai arti lain? Tapi jika ia memiliki, lantas mengapa ia putuskan tuk pergi meninggalkan terang?
Ku tahu, suatu lelah kan hilang jika ia bertemu dengan angin. Tapi bagaimana mereka berjumpa jika arah pun mereka tak bisa membacanya? Melihat bulan? Yang benar saja, gelap telah enggan mengeluarkan tampaknya.

Tentangmu

Dalam sunyi ku bicara tanpa suara, tanpa pendengar, tentang mu, tentang waktumu
Dalam sepi ku melihat tanpa mata, tanpa kedipan, tentang langkahmu, tentang jarakmu
Dalam gelap ku ulurkan tangan, tanpa sentuhan, tentang keluhanmu, tentang egomu
Ku tau kau nyata. Tapi bagiku kau impian.
Ku tau kau bersuara. Tapi bagiku kau kebisuan.
Ku tau kau melangkah. Tapi bagiku kau bersayap.
Ku tau kau melihat. Tapi bagiku kau tersamarkan.
Tak tau harus bagaimana. Mungkin kau tak akan mengerti. Mungkin kau tak akan mau tau. Mungkin kau tak akan menoleh. Mungkin kau tak akan peduli. Biarkanlah. Karena semua ini memang tak pantas terdengar. Tak pantas terlihat. Tak pantas dimengerti. Tak pantas dipedulikan.
Ku hanya ingin kau tau, terimakasih ku selalu untukmu.
Terimakasih ku selalu untuk waktumu.
Terimakasih ku selalu untuk semua tentangmu.
Terimakasih

?

Malam, jika kau izinkan bolehkah aku ajukan pertanyaan. Pertanyaan yang mungkin hanya bisa kau jawab dengan gulita. Dengan kesunyianmu. Dengan kesiagaanmu. Dengan keheninganmu.

Aku tak pernah marah jika kau selalu hembuskan dinginmu. Aku tak pernah marah jika kau sembunyikan terang itu. Aku tak pernah marah jika kau bisukan semua ucap. Aku tak pernah marah jika kau buaikan pikir ini.

Tapi bisa kau beri aku jawaban yang matahari enggan menjawabnya. Tentang langkah ini. Tentang tawa ini. Tentang penantian ini. Tentang harap ini. Tentang pagi ini. Tentang senja ini. Tentang semua yang engkau pun tau. Tentang semua pikir ini. Tentang semua anggapan ini. Tentang pertanyaan ini. Bisakah?

Hujan

Rintikan hujan kembali sapa genting genting yang berjejer rapih. Disatu sela, hujan dengan jahil masuki celah teteskan air yang ingin mendarat diatas ubin.
Diranting pohon. Sang daun berpesta. Gersang mentari dibanjur hujan sebabkan kesejukan. Hujan menetes menyusuri bunga, hingga akhirnya bertemu sang akar yang sudah menunggu tak sabar.
Di atas kubangan air berubin. Sang kodok bernyanyi riang sambut hujan. Ditemani ikan, kawannya. Nyanyiannya semakin bergairah. Hujan turun semakin bersemangat.
Disini dibawah atap yang dibeberapa celahnya tak rapat lagi. Ku amati setiap tetesan air yang turun. Sang langit kali ini benar benar ingin bawahnya sejuk. Ku tantang hujan dengan lihat sumbernya turun. Gelap dengan sesekali cahaya zigzag menyala. Kesejukan yang tadi dirasa berubah menjadi dingin menggigil. Rupanya kain tebal ini tak sanggup melawan tawanya hujan.
Lama dirasa sepertinya hujan sudah puas bermain dengan semua yang ada dibawahnya. Langit gelap berangsur berpindah pancarkan biru indahnya. Disana, diujung atas sana lingkaran setengah jadi terbentuk. Jajaran warna membuat cantik lingkaran itu. Nyata dan indah. Semua yang ada dikolong langit ini menengadah ke atas saksikan eloknya warna buatan Sang Maha Agung. Berharap kan lama. Tapi sayang matahari tak sabar pancarkan kuningnya. Semoga esok kan kembali

Tegar

"Tegar ?"
Disatu pesan sms ku malam itu.
"Siapa?"
"Seseorang yang mengenalmu :) "
"Ohh okey"
"Kamu ga berubah, tetep jutek"
Hah jutek ! Ini pasti seseorang yang kenal aku deket. Tapi siapa?
"Terimakasih"
Aku ogah ladeni orang seperti itu dengan pesan panjang. Cape aku ngetiknya.
"Aku masih ingat waktu pertama kali aku melihatmu, dulu kau jutek sekali. Untuk tersenyum padaku saja kau tak sudi. Tapi aku selalu bahagia ketika aku melihat kau sedang tertawa becanda dengan teman temanmu, kau lepas, tak ada yang kau sembunyikan. Dan aku selalu tertawa ketika ku dengar kau berbicara, suara khasmu buatku terbahak dan kau selalu bicara tentang semua yang kau lihat. Bertanya tentang ini dan itu, dan temanmu menanggapi dengan konyolnya dan kau tebahak lepas"
"Kamu siapa?"
"Kau masih tak tahu aku siapa?"
"Aku ga tahu kamu siapa makanya aku nanya kamu siapa"
"Aku masih ingat ketika aku mengirim pesan untuk pertama kalinya padamu "kau yang terindah". Dan kau pun bertanya "siapa". Setelah ku beri tahu aku siapa kau hanya membalasnya "oh kirain siapa". Dan kamu masih tetep jutek"
"Kamu ini ngomong apa si?"
"Aku selalu ingat semua tentangmu, tentang tingkahmu, tentang celotehmu, tentang jutekmu, tentang tawamu, dan semua harimu. Dan aku ingat semua itu"
"Okey kamu gapenting banget asli !!"
"Dulu aku pun berfikir sama sepertimu, menganggap bahwa dirimu tak penting, tak punyai arti apapun dalam hidupku, tak punyai andil dalam hidupku. Tapi setelah aku mengenalmu, kau berikan semua itu padaku. Kau ajarkan aku arti hadirmu, kau ajarkan aku arti mendengarmu, kau ajarkan aku mengerti dirimu. Kau punyai arti untukku"
"Tapi kamu itu siapa?"
"Mungkin saat ini kau membenciku. Mungkin kau sudah lupakanku. Mungkin kau sudah kubur semua tentangku dalam hati dan hidupmu. Mungkin jika kau tahu aku kau akan terusik dan semakin membenciku. Maafkan aku, seharusnya aku tak boleh hadir lagi dalam hidupmu dalam bentuk apapun, bahkan lewat pesan ini. Tapi izinkan aku tuk tahu apa kau masih menanyakanku atau tidak, meski lewat pertanyaan "kamu siapa", aku bahagia. Aku harap kau tak pernah tahu aku ini siapa sampai semua sakitmu hilang dan terobati. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tenang dalam kematian yang kau buat untukmu"
"Apa maksudmu?"
"Kau masih sama seperti yang aku kenal, selalu tak mengerti tentang aku. Tapi itulah sebabnya kau berarti dihidupku. Semoga kau tetap tegar seperti namamu Tegar. Dan tetaplah menjadi seorang putri yang tangguh dan tegar. Sudahlah, selamat malam, semoga kau pun tenang dalam kehidupan yang kau buat. Terimakasih"

Kamu Bodoh

Jiwa malam sepertinya telah hadir, suguhkan kamu dengan kebodohanku. Kamu. Ya kamu. Kamu yang tak tahu malu. Kamu yang tak tahu diri. Sudah tahu itu kamu, tapi aku malah berfikir itu bukan kamu. Lantas bagaimana denganku? Aaahh kamu takan peduli. Kamu kan tak akan mau tahu. Ceramah logika.
"Hai"
Aahh kamu lagi. Tapi hati ini aahh kamu lagi. Dan logika, aahh kamu lagi. Dengan berbagai rasa tentunya. Tangan sepertinya memihak pada hati.
"Hai"
"Kamu lagi dirumah?"
"Iya ada apa?"
"Boleh aku main kerumahmu?"
"Silahkan"
Mau ngapain dia kerumah, tanya semua yang ada pada diriku. Tapi wajah ini sudah pancarkan raut bahagia. Ku berdandan cantik, seolah sang pangeran akan melamarku. Padahal itu cuma kamu. Tak sabar menunggu.
Jam sudah keluarkan angka 19.30 saat kamu tepat ada di hadapku. Ya, kamu dan aku duduk berhadapan seolah akan adu panco.
"Kamu gapapa aku main kesini?"
Pertanyaan bodoh pikirku
"Ga apa apalah, jarang juga kan kamu kesini. Ada apa tumben?"
"Ga apa apa cuma mau main, dan cuma mau...."
"Mau apa?"
"Mau minta minum"
"Ohh okey"
Ya itulah kamu tak tahu malu. Tapi bodohnya aku memberikannya.
"Ada yang lain?"
"Hmm mungkin ada tapi nanti, tenanglah"
"Ohh okey"
Dan kamu masih tak tahu diri. Semakin kencang detik berjalan tapi kamu masih semangat bercerita ini itu dan bodohnya aku yang sibuk menanggapi kamu. Dan kamu dan aku tertawa tak pedulikan sunyinya malam.
"Hei"
Tegurmu disela tawaku dan sekejap paksa bibir ini rapat.
"Gimana dengan tanganmu?"
"Hah tangan? Emang kenapa tangan aku?"
"Aku lihat tanganmu sakit?"
"Kamu buta ya, gada luka dan tanganku ga sakit apapun"
"Ohh berarti aku salah ya?"
Bodoh !!
"Hei ada apa dengan matamu? Kamu sakit?"
"Apa? Mata? Sakit? Engga, mata aku baik baik aja"
Dan kamu masih bodoh !!
"Tapi ko badan kamu kedinginan ya?"
"Hah Kedinginan? Kamu ga ngerasain malam ini panas?"
Dan kamu masih bertahan di bodohmu itu !!
"Okey udah tiga kali pertanyaan aku salah. Satu kali lagi aku bakal tanya kamu dan udah gitu aku pulang"
Dan kamu gatahu malu !
"Gimana obatnya enak?"
"Hey apa kamu buta? Aku sama sekali ga sakit, aku sehat, dan kamu bisa lihat itu kan?!!!"
"Aku selalu suka saat kamu marah. Kamu begitu menghayati peranmu. Okey kamu mungkin bilang kalau kamu ga apa apa, tapi aku tahu kamu dengan segala kebohongan kamu. Dan hari ini aku ingin aku yang menjadi lawan mainmu. Aku yang akan menggenggam jemarimu. Mengisi kekosongan disela jari jari tanganmu. Dan mencegahnya sibuk buang air mata yang selalu keluar dari mata indahmu. Aku yang akan buatmu menatap masa depan bersama tanpa perlu kau berair mata karnaku. Aku yang akan dekap tubuhmu saat kau rasa dunia berikan dinginnya. Aku yang akan obati semua luka hatimu dengan menuntunmu dalam bahagianya kasih. Dan aku tak butuh jawaban darimu. Kebohonganmu sudah berikan jawaban "ya" padaku"
Dan kali ini aku yang bodoh tak pernah mengerti maksud darimu.
"Kamu paksa aku?"
"Berhentilah berpura pura. Apa harus aku jadikan kebohonganmu itu skripsi agar aku mendapat gelar S.H, sarjana hatimu?"
"Berhentilah tuk ucapkan semua itu dan mulailah menyayangiku sekarang !"
"Tak usah kau suruh lagi aku sedang menjalankannya"
Aku akan selalu menyukaimu segala cara bodohmu untuk ungkapkan semua yang tak aku mengerti. Dengan kebodohanmu kau ajarkan aku tuk pintar mengenalmu. Dengan ketidaktahu maluanmu kau ajarkan aku tuk bisa menerimamu. Dan ketidaktahuan dirimu kau ajarkan aku tuk bisa terus bersamamu. Dan aku menyukainya. Terimakasih kau ajarkan aku bahwa cinta membuat kita bodoh. Dan semoga kau akan selalu ada untukku, bukan saja ketika kau sedang bodoh karna cinta, tetapi juga ketika cinta ajarkan kau kepintaran.

Malam

Malam tak bisakah kau datang terlambat?
Malam tak bisakah kau sembunyikan khayal barang sedetik saja?
Malam tak bosankah kau suguhkan aku deru sunyi ?
Malam tak bisakah kau berbaik hati munculkan kejora itu barang sekejap?
Mentari, apa kau sedang menertawakanku?
Apa kau tak lihat ku sendiri terpojok menunggumu?
Lihatlah, lihat air ini
Apa ini yg kau sebut dg kasih?
Bahkan anginpun tak sudi hembuskan bagiannya
Sudahlah, kau memang tak akan peduli

Senja

Senja, ku tau kau akan selalu hadir di waktu yang tak pernah bergeser. Senja, ku tau kau selalu pancarkan oranye mu. Senja ku tau kau selalu hadirkan pesonamu. Senja, ku tau kau akan kembali. Tapi senja, untuk waktu ini ku mohon kalimatmu dalam jawaban pertanyaanku. Ku mohon berikan semua yang kau tau. Ku mohon berikan semua isyaratmu. Tentang semua kegelisahan ini. Tentang semua langkah ini. Tentang semua kalimat ini. Tentang semua rasa ini. Tentang semua waktu yang tak pernah kembali. Senja kau ajarkan aku arti keindahan. Senja kau ajarkan aku pesona. Senja, kau ajarkan aku berdiri. Senja kau ajarkan aku sendiri. Senja kau ajarkan aku melepas. Senja kau ajarkan aku mengikhlaskan. Tapi bolehkah aku bertanya? Bertanya tentang semua yang terjadi. Tentang semua yang datang. Tentang semua yang berucap. Tentang semua yang menggenggam. Tentang semua tawa. Tentang semua rasa. Tentang semua waktu. Dan tentang semua yang pergi tanpa lambaian. Bolehkah?
Senja jika suatu saat nanti kau ijinkan aku tuk melihatmu lagi, maukah kau berjanji tuk bawakan aku waktu. Tuk bawakan aku sinar itu. Tuk bawakan aku keindahan yang selalu kau pancarkan. Tuk bawakan aku malam yang indah. Maukah?