Sabtu, 28 Maret 2015

Sajak

Sajak telah ku tulis. Tak terhingga. Cukup kau baca. Tak perlu mengerti. Jika kau paham, lupakan.

Lantas Bagaimana Dengan Kita ?

Terbaring lemah ku disini melawan rasa sakitku. Lemah tak berdaya hanya bisa buatku tertidur gelisah nikmati pejaman mata tanpa mimpi dan tak terasa. Dan lemah tubuh ini masih saja ada, sepertinya tubuh ini ingin dimanja, bukan saja denganku.

Masih, ku tenangkan tubuh ini dengan tidur sekejap tanpa mimpi. Tanpa kamu, hanya kata yang hadir wakilkan kecemasanmu.

Sendiri ku disini, memikirkan jalan yang sebenarnya dekat, seperti jarak hidung ke mulut. Tapi ku bingung. Ku habiskan waktu tuk berfikir, seolah jauh tapi ternyata berputar pada satu titik, tanpa terang, tanpa angin, hanya mencari.

Masih, ku berjalan mencari. Sendiri. Tak lelah, meski terkadang menyerah. Tanpa kamu. Hanya kata yang rajin berikan laporan. Perintah kepedulianmu.

Menahan, memendam rindu yang seharusnya tersalur sebagaimana mestinya, pergi pada tuannya tuk memeluk, bercerita pada hati yang lama tak mendengar. Terpenjara. Diruang yang seharusnya berudara, tapi malah gelap gulita, meraba cahaya mimpi yang dituliskan pada janji yang kita bulatkan.

Masih, ku pelihara rindu ini agar tak lari pada tuan yang lain. Hanya doa yang setia beriku cahaya. Mungkin Tuhan bosan dengar pintaku, tapi aku tak mau menyerah. Tanpa kamu. Hanya kata yang rajin mengamini tanda doaku kau terima.

Apa kabar kau disana?
Apakah Tuhan berimu waktu yang berbeda denganku sehingga detik untukku menurutmu abad?

Sedang apa kau disana?
Apa Tuhan berimu tempat bukan dibawah langit sehingga oksigen yang ku hirup menurutmu udara hampa?

Kapan kau kembali?
Apa Tuhan berimu jarak yang jauh sehingga kilometer bagiku menurutmu astronomical unit?

Apakah kau merasakan?
Apa Tuhan berimu rasa yang tak bisa terpikirkan oleh makhluk lain sehingga rindu bagiku menurutmu ketidakmungkinan?

Tuhan beri waktu dalam matahari dan bulan sebagai penandanya.
Tuhan beri tempat dalam nama yang manusia bisa menyebutnya bumi.
Tuhan beri jarak antara yang bernyawa diatas tanah dalam kilometer.
Tuhan beri manusia kepekaan rasa tanda kasih pada hambanya.
Lantas bagaimana dengan kita?

Sia-sia huruf terangkai indah jika terdorong kepura-puraan.
Sia-sia langkah yang diagung-agungkan seirama jika tujuannya berbeda.
Sia-sia kepedulian yang dibangun dengan doa jika yang mengamini berpaling dalam isi doa.

Haruskah aku bertanya lagi lantas bagaimana dengan kita?

Sabtu, 21 Maret 2015

Pantai

Ini tentang tempat yang paling aku suka. Dan saat ini aku merindukannya. Pantai. Tempat paling indah menyaksikan mentari muncul dan tenggelam, setelah gunung.

Lepas. Sejauh mata memandang hanya air dalam balutan ombak, air dengan kandungan garam didalamnya, dan air tempat semua binatang laut tinggal. Dan ku melihatnya.

Dipinggir pantai, berpasir bertekstur tak halus, aku duduk. Ditemani ombak yang datang bawakan sisa air yang tumpah sebelum menyentuh tubuhku. Mataku masih melihat kedepan. Laut. Tanganku tak bisa diam, mainkan pasir yang beberapa waktu lagi akan ku tinggalkan.

Ku mainkan jariku diatas pasir. Tuliskan yang seharusnya tak ku tulis. Dan laut pun marah. Ia sampaikan lewat ombak tuk hapuskannya. Atau memang sudah semestinya?

Dan yang kutunggu pun datang. Senja. Mentari perlahan berjalan tenggelam di ufuk barat menghilang di bawah garis cakrawala. Burung pun mempercantiknya, cahaya oranye dengan paduan langit yang mulai gelap. Ombak perlahan tunjukkan kekuatannya, semakin besar menyapu pantai. Dan aku merindunya. Semakin menghilang. Ku titipkan doa lewat senja. Semoga kita bertemu kembali.

Makna

Tolong jangan tanyakan sudah berapa lama aku disini, karna aku sendiri pun sudah lupa sejak kapan aku berteman akrab dengan detik hingga aku hafal betul dengan cerita dibalik angka yang ia jalani. Nampaknya aku terlalu tegar untuk kau kalahkan dengan rasa yang kau ciptakan, atau dirimulah yang terlalu bodoh untuk buatkan diriku sebuah jalan? Entahlah yang pasti aku disini, berdiri, menunggu, melihat, dan, pergi, segera !

Sebagian nama aku lupa, tapi seluruh makna aku ingat, fasih. Belakang - depan - tengah. Tengah-belakang-depan. Depan - belakang - tengah. Depan - tengah - belakang. Mulai dari A - Z. Z - A. Dari tanda seru hingga tanda tanya, atau tanda titik yang sering berubah menjadi tanda koma, dan tak jarang berubah menjadi tanda seru, dan berubah kembali tanda tanya, dan kemudian tak menemukan jawaban.

Kau rangkai cerita, aku jejerkan huruf. Kau datangkan hujan dengan mentari disampingnya, aku gali dalam-dalam tanah agar bibit yang ku tanam tak hanyut. Tapi tanah tetaplah tanah. Bongkahan es ditempat dingin pun ada saatnya ia harus bersatu dengan air, tempat asalnya.

Makna tak harus tersurat dan terlihat. Terkadang daun yang gugur pun suguhkan makna, bukan karna ia lemah atau terbawa angin. Tapi karna ia tahu tanah membutuhkannya tuk suburkan pohon, tempat jatuhnya.