Jumat, 27 Februari 2015

Tentangku atau Tentangmu ?

Mendayu tentangmu ketika ku pejamkan mata. Bayangmu kembali. Paksa ku buka kan mata. Dan kamu tertawa.

Lawas. Tak terkira hingga kini. Ku berpaling kau semakin dekat. Ku dekap kau berontak. Dan aku terdiam.

Berdiri. Ku siaga kau sekap. Ku mendengar kau berlari. Aku terbang kau patahkan. Dan kau bersembunyi.

Tak satu. Ku lupa kau lukiskan. Ku bayangkan kau samarkan. Kau bersuara, aku tak nampak.

Salah siapa?
Lupakanlah.

Yasudah

Dia. Sosok yang mungkin ku kenal, tapi bisa juga tidak. Haha entahlah, mungkin hanya perasaan. Dimulai dari sebuah  pertemuan. Cukup luas, tapi bagiku tidak, gedung itu terlalu sempit untuk menampung semua orang yang hobinya berjalan. Disana, aku harap semua baik-baik saja. Tapi sayang, didetik kesekian dihari itu, semua tak terkendali. Bukan situasinya, tapi pikirannya. Sesosok makhluk bumi, bernafas, berdetak, dan masih menyentuh bumi terlihat. Entahlah dia nyata atau lelahku. Sekelibat dia hadir dipenglihatanku. Tapi dengan sekejap pula dia tenggelam dikeramaian manusia lainnya. Ku alihkan mata ini dengan ucapan tawa yang seenaknya keluar tapi tak aku pikirkan. Disela tawa kerasku, sosok itu muncul lagi. Tak pikir lama karna aku mulai jengah dengan pertanyaan siapa dia. Ku dekati, dengn jarak yang hanya beberapa dekat lagi bisa menyentuhnya, ku hentikan dan ku mulai pandangi dengan seksama. Ya Tuhan ternyata dia itu manusia yang selalu aku amati punggungnya beberapa waktu lalu. Haha aku kira dia hanya khayalku, ternyata dia nyata. Ku balikkan tubuhku arahkan langkah ini pada tempat semula. Ya semoga saja semua kan terhapus. Kalaupun tidak, anggap saja semua ini kertas yang harus aku isi.

Kembali pada tempat semula, tapi tidak dengan mata dan pikiran ini. Melayang, mencari dia yang baru aku lihat. Alih-alih tak ada udara, ku mulai menyusuri setiap sudut dan kepala manusia lainnya. Terkejut. Di satu sisi, ku lihat wanita cantik tertawa tertahan karena ingin anggun menatap penuh binar. Dan dia, dengan seksama perhatikan setiap tingkah dan ucapnya. Sayang, dia panggil dirinya itu. Hanya berjarak beberapa langkah. Tercengang ku dibuatnya. Yasudah. Ku harus kembali pada posisi semula. Tertawa.

Kamis, 26 Februari 2015

Siang Ini

Siang ini masih bolehkah ku berharap? Atau setidaknya melamunkan tentangnya, yang kini tlah ku kubur dalam- dalam semua citaku akan dia. Mungkin. Entahlah, aku harap aku sudah menguburnya, ya kalaupun hari ini aku berharap atau melamunkan tentangnya, maafkanlah karna aku tlah sekuat hati untuk tidak memikirkannya, paling tidak aku berusaha untuk mengalihkan tatapanku dari wujudnya. Meskipun mata ini tahu arah mana yang harus ia tatap.

Diruangan yang cukup luas, dengan manusia yang sangat banyak waktu itu, membuat suhu ruangan menjadi panas, oksigen seolah hilang terhirup oleh manusia yang tak dikeluarkan lagi. Pandanganku masih lurus ke depan, sampai ketika seseorang mengeluarkan pertanyaannya. Pertama yang aku lihat bukan sumber suara, tapi dia yang seharusnya aku hindari. Tak tahu dia ada, tapi mata ini terus ingin meliriknya. Ya Tuhan apalagi ini.

Sepanjang waktu aku gelisah berharap cepat keluar bertemu dengan angin dan melepas rindu dengan matahari. Entahlah, rasa rindu ini mendadak muncul. Mungkin hanya mataharilah yang dapat membakar semua lamunan ini. Tapi sayang, waktu sepertinya sedang ingin bermain denganku. Lambat. Ia berdetik dengan pelan sekali. Entahlah, mungkin ia sedang menertawakan keadaanku. Dan mataku seolah ingin menatapnya, lagi. Ah pandangan ini membawaku pada harapan yang, entahlah. Aku terlalu tinggi mengaharapkan cicak dapat merayap dinding langit.

Syukurlah waktu mengakhiri permainannya. Meskipun aku kalah, setidaknya aku bisa menatapnya kali ini. Ya Tuhan maafkan aku. Semoga tatapan itu tak mengendap di memori ingatanku. Bukan aku tak siap kalah, tapi karna aku tahu rasanya berlari dengan kencang diatas angin.

Sabtu, 21 Februari 2015

Dia (bukan) Untukku

Helaan nafas panjang ini mengawali malam. Diluar sedang turun hujan. Aroma air dengan suhu dinginnya masuk lewat celah jendela. Aku yang sedari tadi mendengarkan rintikan air yang seolah saling saut-menyaut. Dalam setiap bunyi rintikan, memoriku semakin menggali ingatan itu. Entah berapa dalam kisah itu ku kubur. Tapi sayang, hujan malam ini tlah lancang menggali kisah yang seharusnya tlah dalam terkubur.

"Sedang apa kau disini?"
"Hah, sejak kapan kau disini?"

Hari itu jam telah tunjukan angka 16.15. Dihari yang istimewa yang seharusnya ku berdoa mengisi setiap ucapku dengan kalimat terbaik untukku, dan dia. Tapi sayang, ku tak terlalu melihat kenyataannya. Hanya beberapa jam setelah ia berikanku kejutan, dan beberapa jam sebelum ku berikan ia kejutan. Tapi ternyata waktu tlah hadiahkan ku kejutan. Di sebuah tempat yang menjadi tempat favorit kita berdua. Tumpukan ilmu yang disatukan dalam lembaran kertas tersusun rapih dalam lemari kayu khas menjadi hiasan indah. Disini biasanya aku dan dia habiskan waktu bersama. Jika film dan makanan tak lagi dapat menghibur. Kita singgah disini tuk hiburkan diri lewat kata. Aku slalu ingat, ia slalu langsung pergi ke lorong tumpukan komik-komik. Buku bergambar manga itu slalu bisa menghipnotisnya tuk serius dan tertawa. Dan aku hanya bisa melihatnya asyik tanpa mau mengganggunya.

"Kamu lagi ngapain disini? Dan ngapain juga kamu sama dia? Pake acara pegangan tangan segala lagi?"
"Kamu sama siapa kesini?"
"Kamu lagi ngapain disini? Lagi ngapain kamu sama dia?"
"A..aku disini lagi nungguin temen, aku mau ngasih kejutan untuk kamu"
"Oh lagi nungguin temen ya? Emang janjian jam berapa? Masa udah dua jam nungguin ga datang-datang juga temennya. Tadi bilang mau ngasih kejutan ya? Makasih banyak loh kejutannya luar biasa banget"

Aku pergi dengan kecurigaanku yang terbukti benar. Tapi sayang, hati ini mengelak tuk benarkan kenyataan yang ada. Empat bulan sebelum hari ini, ku kira kesalahan dalam kata itu tak disengaja, bahkan aku berfikir itu hanya keisengan belaka.
"Kamu udah makan belum Fir?
"Fir? Siapa itu fir?"
"Eh maaf sayang aku salah ketik, maksudnya Gir, Gira. Maaf sayang huruf 'f' sama 'g' nya deketan si jadi aku salah mencet deh, maaf ya sayang"
"Oh dikirain kamu lagi sms-an sama yang lain"
"Engga dong sayang kan cuma kamu doang yang ada disetiap hari dan di hati aku"

Tapi apa mungkin kesalahan dalam pengetikan bisa terjadi lebih dari satu kali. Meskipun iya posisi huruf 'f' dan 'g' dalam keypad qwerty berdekatan, seharusnya itu tak bisa dijadikan alasan setiap waktu ia salah dalam menyebutkan nama dalam sms bukan? Dan jika memang aku yang menjadi satu-satunya wanita yang ada disetiap hari dan hatinya, mana mungkin bisa ia salah menyebutkan nama?

Kecurigaanku ku pendam hanya untuk menghindari konflik. Bukan ku takut berdebat dengannya, tapi aku hanya ingin memberikannya kesempatan untuk ia bisa jujur pada ku. Tapi sayang, ia tak pernah mengerti. Atau ia hanya pura-pura tak mengerti akan kebaikanku?

"Aku juga sayang kamu Fir"
"Ardi kamu lagi ngapain disini? Ngapain juga kamu sama Fira berduaan?"
"Eh sayang sejak kapan kamu disini?"
"Aku baru datang ko. Dari tadi aku teleponin kamu, tapi ga diangkat mulu, yaudah aku jalan sendiri kesini"
"Oh iya maaf ya sayang handphone aku ketinggalan di mobil"
"Oh ketinggalan ya? Terus itu handphone siapa?"
"Emm... itu, itu.."
"Kamu lagi ngapain disini Fir?"
"Aku disini lagi nungguin temen bareng Ardi, yaudah aku pergi dulu ya"
"Oh oke"

Dan aku melihat matanya mengantarkannya pergi. Mungkin itu bentuk perhatian seorang teman. Atau ada alasan lain mungkin. Entahlah, tapi yang aku tahu, ia membohongiku, lagi. Dan aku hanya bisa mengangguk kecewa, tapi bodohnya aku pendam.

Ia berteman denganku sudah cukup lama. Sebelum ku mengenal Ardi, aku sudah mengenalnya. Tapi sayang, aku tak mengenal hatinya dengan baik. Setiap saat aku ingin mengeluarkan cerita tentangnya, aku pasti bercerita pada Fira. Ia slalu antusias ketika ku menyebutkan namanya. Seperti ada magnet, ia slalu tunjukan ketertarikannya pada apapun tentang Ardi, terutama yang keluar dari mulutku. Dari awal ku menatap matanya hingga akhirnya ku bisa menyentuh hatinya, Fira tahu. Dan bodohnya aku mempercayai ia begitu saja.

Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Kecewa. Sudah tentu ku kecewa. Tak percaya, sungguh sulit untuk mempercayai semua yang ku lihat.
"Bodoh !! Kenapa aku bisa sebodoh ini. Sekarang sudah jelas kecurigaanku slama ini. Dan kenapa juga aku harus bertahan slama ini. Kenapa aaahhh !!!"
Sepanjang jalan ku hanya mendumel. Buang kekesalan di taman ini, tak terlalu buruklah aku bisa mengeluarkan rasa kecewa ku dengan ditemani air mata tak percaya ini, meskipun hanya pohon dan rerumputan yang menjadi saksi. Perih, lebih dari dua jam aku melihat sesuatu yang seharusnya aku tak lihat, atau mungkin aku seharusnya melihat ini sejak lama. Entahlah aku hanya bisa menangis kecewa.

Sedang ku nikmati rasa kecewa ini, handphoneku berdering, namanya muncul dalam layar, ku diamkan. Lagi, hingga pesannya pun masuk, tapi tak ku hiraukan. Dan lagi, handphoneku berdering kembali. Hasrat inginku jawab panggilannya, tapi masih ku marah padanya. Tapi akhirnya ku terima pula panggilannya.
"Sayang maafin aku, kamu salah paham sayang. Kamu lagi dimana? Aku perlu jelasin ini semua"
"Aku pingin kita ketemu sekarang di taman"
"Oke, tapi kamu ga marah kan sayang?"
"Ada lagi yang perlu dibicarain?"
"Sayang maafin aku, kamu salah paham sayang"
"Kamu udah ngerti kan, aku pingin kita ketemu sekarang"
"Oke oke aku kesana sekarang, tapi kamu ga..."
Tak kuasa ku mendengar suaranya. Rengekan itu buatku hampir luluh. Tapi aku tlah terlampau sakit. Aku harap ia tak tahu bahwa aku tlah pura pura tegar.

Masih ku nikmati kecewa ini, handphone ku kembali berdering. Fira. Nama itu muncul di layar handphone ku. Aaahh semakin membuat emosiku tak terkendali. Ku biarkan bunyi itu. Lagi, sebuah pesan mendarat di nomorku.
"Jawab panggilan gue, lo tu udah salah paham Gir"

Salah paham? Ya salah paham !!
Emosiku masih belum stabil. Tapi handphoneku sudah kembali berdering. Lagi, Fira. Iba. Ku jawab panggilannya.
"Gue minta maaf sama lo. Tapi lo udah salah paham, Gir"
"Temui gue di taman sekarang"
"Gir, lo itu udah salah paham. Lo ngerti dong, jangan kaya anak kecil gini"
"Lo denger kan, temui gue sekarang di taman"
"Oke gue bakal temui lo"

Ha, salah paham. Lagi. Sepertinya setiap orang mudah sekali mengatakan 'salah paham'. Entahlah, mungkin iya aku salah paham. Lantas bukti salah penyebutan nama yang terjadi, kejadian di kafe itu, apa itu hanya kebetulan belaka? Apa itu yang dikatakan 'salah paham' ?

Entahlah apa aku kuat menghadapi detik selanjutnya, apa aku harus bertahan dengan kebodohan nyata ini.
"Sayang maafin aku, kamu itu salah paham sayang. Aku sama Fira gada apa apa ko. Kita itu hanya berteman sayang. Cuma kamu yang aku sayang"
"Oh"
"Sayang kamu masih marah ya? Udahan dong sayang marahnya. Masa kamu tega si ngehukum aku kaya gini?
"Terus?"
"Aku tu sayang sama "
"Hey, kayanya aku datang diwaktu yang ga tepat ya? Yaudah aku pergi dulu aja deh"
"Oh kamu datang diwaktu yang sangat tepat ko Fir. Tadi kamu bilang apa Di, kamu sayang sama siapa?"
"Mmm aku sayang sama kamu Gir"
Dan matanya pun bergetar.
"Sayang sama siapa?"
"Sama kamu Gira"
"Yakin Gira? Bukan Fira?"
"Fir gimana tu jawabannya?"
"Maksud lo tu apa si? Jelas-jelas Ardi bilang sayangnya sama lo, bukan sama gue"
"Haha kalian tu emang aktor terbaik deh. Mau sampai kapan si lo berdua tu munafik? Kalian berdua terus aja nyembunyiin ini dari gue. Mau sampai kapan ha?"
"Yang kamu itu salah paham. Kita itu cuma"
"Cuma apa? Cuma saling sayang? Di lo anggap gue ini apa ha selama ini? Jangan lo pikir karna gue diem gue ga tahu apa apa. Gue tahu apa yang kalian lakuin di belakang gue. Gue sengaja diem karna gue pengen lo tu sadar, tapi begonya, lo malah makin jadi"
"Gir ini tu ga kaya yang lo fikir"
"Ga kaya yang gue fikir? Oke sekarang lo jelasin apa arti tatapan lo slama ini ke Ardi? Dan kenapa lo slalu ngilang setiap Ardi pun ilang? Dan waktu kejadian di kafe tempo hari itu, lo bilang lo lagi nungguin temen, tapi kenapa lo malah nungguin bareng Ardi? Selama tiga jam pula pake adegan pegangan tangan segala. Dan tadi, maksud lo itu apa ha?. Dan kenapa setiap gue minjem hp lo slalu dilarang? Karna lo punya foto berdua sama Ardi kan? Dan lo slalu ga kelewat untuk kontakan sama dia, iya kan?"
"Sekarang gue mau lo milih, gue atau Fira?. Tapi lebih baik lo pilih Fira aja deh, karna gue udah enek liat kelakuan lo"
"Gir lo tu salah paham. Gue sama Fira tu gada apa apa"
"Diem lo !! Berani juga lo ngeles setelah semua bukti terungkap. Lo pikir lo tu siapa ha? Lo itu udah mainin hati gue. Lo mikir dong !! Gue mau kita putus !!"
"Tapi Gir.."

Tak kudengarkan lagi semua omong kosong mereka, ku pergi. Kecewa tapi ku puas semua yang ada dalam amarah ini bisa terucap. Meskipun ku harus menerima semua konsekuensinya, tapi aku bersyukur aku bisa lepas dari semua kebohongan mereka.

Enam bulan semenjak kejadian itu, aku tak pernah berhubungan lagi dengan mereka berdua. Meskipun mereka sering menyapaku lewat dunia elektronik maupun ketika berpapasan. Aku terpaksa melakukan ini, bukan karna aku masih merasa sakit tapi aku hanya ingin menghargai mereka dengan tidak mengganggu hidup mereka lagi. Tapi sore itu ketika aku pulang dari kantor, ku temui undangan di bawah celah pintu depan rumah. Ku lihat undangan itu bertuliskan Ardi & Fira. Tertawa ku melihatnya. Akhirnya Tuhan menjawab pertanyaanku, mengapa aku harus merelakan mereka.

Ternyata kasihku untuknya kecil dibandingnkan kasih yang Tuhan berikan untukku. Bersyukur. Kalau saja aku pertahankan hubunganku dengan dia, mungkin aku akan semakin terluka. Dan dia akan semakin menumpuk dosa karna dia harus slalu berbohong. Terimakasih Tuhan, Engkau telah tunjukan orang yang tak pantas untuk ku cintai. Meskipun terkadang aku menyesal telah mengenalnya bahkan telah mencintainya, tapi aku bersyukur karna dia telah tunjukan kepadaku bahwa ia tak pantas untuk mendapatkan semua kasih tulus ini. Bukankah aku harus mendapatkan orang yang salah dulu sebelum mendapatkan orang yang benar. Ya setidaknya semua yang aku berikan tulus meskipun harus terbalaskan oleh rasa sakit. Semoga kalian bahagia.

Rangakain Kata

Malam merambati rinduku yang juga belum berangsur padam. Entah sudah berapa malam yang telah bergulir. Tapi malam ini, masih malam yang sama bahkan dengan dingin yang sama. Aku tak pernah tahu arti dari apa yang aku rasa. Diam, bersembunyi dibalik gelap kerap aku lakukan. Disudut tak menentu ini menjadi tempat ternyaman. Seolah mengerti, ia selalu hadirkan sunyi dengan dingin terbaiknya. Dan kerinduan ini memaksaku membeci malam

Dalam benak slalu bertanya, mengapa bulan dan bintang slalu bersama disetiap malam. Sedangkan kau tak pernah hadir di setiap gelapku?Apakah gelap ini tidak nyata? Atau hanya aku yang terbiasa tanpa cahaya? Tak nampakkah ku dalam harimu? Atau semua ini tak pantas terwujud?

Kau adalah bagian terkecil dari partikel memoriku yang paling aku rindukan. Tatap matamu buatku semakin menyelam dalam khayalku. Dan kamu, seperti biasa jauh dari kenyataan. Aku berkaca pada cermin yang ikut menertawakan rasa takutku. Dekat dalam jarak tak buatku kuasa tuk bersuara. Ada rasa ingin menyapa, namun aku hanya bisa menyimpan kata. Telingamu terlalu indah tuk dengarkan suara hati ini. Meskipun jawaban terbaikku telah ku rangkai, tapi pertanyaan tak pernah mendarat dibibirmu. Salah siapa? Jarak kah? Waktu kah? Atau pena yang tak tuliskan ini untuk kita?

Jangan kau bilang lagi aku harus pasrah pada sang kala.  Karna aku tlah jengah pada setiap denting yang bersuarakan namamu. Mungkin aku harus berguru pada bulan yang menginginkan matahari, tapi ia tahu sebatas mana ia harus bermimpi. Dan kau adalah nyata yang tak bisa ku sentuh.  Jika gelap adalah ketiadaan cahaya, maka hitam adalah lembaran tanpa cinta. Dan kau adalah satu satunya lembaran hitam yang ingin aku beri warna. Tapi mustahil, karna Pemberi Warna hanya hadiahkanku hitam. Bagaimana bisa hitam dengan hitam menjadi pelangi?

Embun pagi hari selalu kirimkan kesejukan untuk siapapun, dan seharusnya termasuk aku. Tapi bagiku tak ada yang berikan kesejukan selain semua tentangmu. Bahkan hangatnya mentari tak bisa gantikan pelukmu. Sadarkah kau, setiap senja yang mentari hadirkan untuk bumi, itu adalah rindu untukmu. Bagaimana bisa, semua rindu ada tempatnya, tapi mungkin kali ini tidak padamu. Atau bahkan selamanya. Mungkin setiap rindu yang aku ciptakan tak boleh untukmu. Lantas salah siapa? Hati ini? Atau rindu ini yang terlalu lancang mengaharapkanmu?

Tolong katakan kemana aku harus mencari Tuhanmu agar aku bisa sampaikan semua rasaku. Aku tak perlu pembenar untuk setiap kata, rasa, dan kekecewaan yang menyelimuti setiap penantianku. Tak perlu, aku hanya ingin Tuhan mengerti bahwa semua tentangku tulus akanmu.

Harapan adalah apa yang aku gantungkan setara bintang, tapi kau hempaskan menjadi serpihan. Tak tahu dirikah? Atau engkau yang terlalu tinggi untuk ku gapai? Bahkan langit menunggu matiku, terhimpit harapan yang seharusnya tak menumpuk. Tapi harap ini seperti kuku jemari yang selalu tumbuh meski dipangkas setiap hari. Seberapa keras ku menjerit, bintang takan pernah meninggalkan langit. Meski ku memohon meronta, bintang takan wujudkan kau tuk bernafas. Kelak huruf akan terangkai menjadi kata, yang menunggu untuk diucapkan atau mengendap sebatas harapan. Dan saat itu pula, semua tlah sirna, pergi jauh tersapu oleh angin.

Tak cukup keraskah ku berteriak pada langit yang tetap membisu dibalik kelabu? Atau langit tak mendengar? Ombak pun selalu merindukan pantai, tapi gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Terhempas dibalik karang tapi ia tak lelah. Andai. Tapi jiwa ini menciut. Dan kau tak perlu bersentuhan untuk buat jiwa ini remuk hingga menjadi serpihan. Karena angin telah terbangkannya. Jadi, tertawalah.

Bulan bersembunyi dibalik langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Mungkin harus ada yang terluka, untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Biarkanlah aku menjadi abu, sampai hembus terakhir keluh kesahmu. Mungkin untuk saat ini hanya sunyi senyap yang mengerti kesendirianku. Aku harap tak pernah ada persimpangan jalan, dimana teduhnya tatapanmu hanya ku sebut kenangan. Aku adalah titik terendah dalam dingin dan kelamnya hidup. Aku adalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan tanpa bertanya. Tapi aku bukan senja yang dapat merelakan matahari.

Kamu adalah apa yang selalu aku tulis dalam cerita dan aku adalah apa yang tak pernah kau baca. Seperti matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan terpendam ditempat yang dalam. Pada akhirnya takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Jika waktu telah berjalan, aku harap sesal tak pernah bawamu kembali. Bahkan jika kau hanya bosan menanti anggaplah aku mati. Karena aku takan bisa menolak tuk buatmu tersenyum.

Sabtu, 14 Februari 2015

Selamat Jalan

"Sayang aku rindu"
"Aku juga rindu kamu sayang, cepatlah kau kembali"
Itulah kata yang tak pernah absen ketika aku dannya berbicara. Lewat huruf dan suara pastinya. Tiga tahun sudah kita jalani kisah ini dengan perbedaan jarak yang begitu jauh. 396km bukanlah jarak yang pendek, terlebih untuk rindu yang selalu kita pupuk. Keinginannya membawa kisah ini berjarak sangat jauh. Aku tahu ia melakukan hal ini demi cita citanya tuk menjadi penyair handal. Ia dalami bahasa yang Tuhan beri lewat para pengajar. Dan aku takan pernah menghalanginya.
Tapi malam itu, sepertinya rindu kita sedang berada dipuncaknya. Tak jelas sebabnya tapi sungguh aku merasa sangat ingin ia berada di sampingku saat ini, tuk tenangkan aku. Dan dia seperti biasanya hanya bisa menyabarkanku. Dan sudah ritualku, aku membencinya.
"Iya aku bakal cepat pulang, tapi kan studiku belum beres, aku harus selesain dulu skripsiku. Tiga bulan lagi aku pasti akan kerumahmu, melepas semua rindumu dan mengucap janji didepan kedua orang tuamu"
"Tiga bulan lagi? Sayang itu bukan waktu yang sebentar. Aku butuh kamu sekarang, aku rindu. Sangat rindu !!"
"Aku juga rindu sayang, tapi kamu juga harus ngerti dong dengan keadaan aku saat ini"
Ya itulah dirinya, memaksa aku harus mengerti keadaannya. Andai saja aku bisa lebih mengerti keadaannya. Tapi maaf sayang rindu ini sangat menyiksa hati.
Empat bulan yang lalu, tepat dihari ulang tahunku. Ia tiba tiba datang beriku kejutan. Saat hari kan berpindah ia datang. Aku tak bisa apa apa. Aku hanya bisa merasakan bahagia saat itu, dirinya ada dihadapanku. Ya dihadapanku. Tak pikir lama tubuhku sudah peluk erat tubuhnya. Aahh rasanya seperti magnet yang bertemu dengan kutubnya. Enggan aku melepaskannya. Ia ajakku berkeliling kota ini, habiskan malam ini hanya untuk aku. Saat matahari masih sibuk dibelahan bumi lain. Ia mengajakku menuju dingin disudut kota ini. Tak ada macet, tak ada kebisingan, hanya dingin, dirinya dan aku dan juga teh hangat yang ditemani jagung bakar ini. Berbincang ini dan itu dan juga tentang rindu ini. Ia selalu tahu caranya buatku bahagia. Ia bawaku ke tempat tertinggi kota ini, dan dia tunjukkan aku cahaya bumi ini. Perlahan kita saksikan. Takjub ku dibuatnya. Dan hangat ku dibuat oleh dirinya. Saat sang mentari merangkak naik, ia berlutut didepanku, tangan kanannya menengadah meminta tanganku. Ia berucap manis sekali saat itu "maukah kau menjadi makmum disetiap sujudku?".
Anggukan kepala ini spontan berikan ia jawaban. Aaah bahagia sekali aku saat itu. Sorakan ayah ibu kita buatku semakin kaget. Aahh ia selalu bisa buatku terkejut. Ia lingkarkan cincin indah itu dijemari tanganku. Bahagia aku, sungguh bahagia. Dan matahari pun berikan sinar terbaiknya untukku.

Dua hari ia berikan aku waktunya. Tapi sungguh, itu sangat sebentar sekali sayang. Ku tahu ia korbankan waktu belajarnya untukku, tapi sungguh sayang aku masih ingin kau berada disini.
Ia merengek paksa aku tuk antarkannya pergi. Tapi sungguh aku tak sanggup sayang. Baru kemarin dirinya buatku bahagia, dan kini ia buatku harus menangis melepas kepergiannya. Tak sanggup aku mengantarnya sampai pintu keberangkatan. Ku lepas kepergiannya dipinggir lobi ini. Ku peluk erat dirinya. Ku tahu ia pun tak ingin meninggalkanku tapi semua tugasnya sudah memanggilnya.
"Jangan cengeng, aku bakal pulang cepet ko. Kalau skripsiku beres aku pasti bakal cepet pulang, dan bawa kamu ke keliling dunia, seperti yang selalu kita impikan sayang"
"Janji ya kamu cepet pulang, aku pasti bakal rindu berat sama kamu"
Kecupan indahnya mendarat dikeningku, buatku tenang sekaligus semakin berat melepaskanya. Sekali lagi ku peluk dirinya dan sekali lagi aku menangisinya. Terdengar suara perempuan memberikan informasi bahwa pesawat yang akan ia tumpangi akan segera mengudara. Ia paksa lepaskan pelukan ini. Ia mulai berjalan bawa kopernya, dengan senyuman dan dengan berat hati ia melangkah tinggalkanku.
"Sayaaaanngg". Ku panggil dirinya tak jauh setelah dirinya melangkah. Ia pun menoleh
"Jangan nakal !!". Aku dan dirinya mengatakan hal yang sama, buat kita tertawa. Simbol oke pun kita berikan, tanda perjanjian.
Entahlah, aku pun tak tahu mengapa perpisahan kali ini terasa berat sekali. Buatku cengeng.

Hari demi hari kita lalui dengan rindu yang sangat menyiksa. Hanya suara, dan huruf yang rajin menyapa, wakilkan rindu hati ini. Sesekali ku bisa lihat wajahnya lewat skype. Dan aku semakin rindu. Dan puncaknya hari ini, tak bisa aku tahan lagi, aku benar benar rindu, rapuh tanpanya. Dan dia masih saja bisa paksa ku bersabar, meskipun aku tahu ia pun tak sanggup menjalaninya.
Kita bercerita, bicarakan hari ini yang dilalui oleh rindu didalamnya. Tawa, kesal warnai bincang kita.
"Kamu itu selalu buat aku nunggu deh"
"Tapi kamu sayang kan?"
"Kata siapa aku sayang sama kamu?"
"Aku tahu kamu sayang, meskipun kamu lagi bohong aku tahu kamu"
"Iya deh iya aku ngalah, aku sayang banget sama kamu, dan aku gamau kehilangan kamu, cepet pulang sayang"
Lama ku tunggu tak ada balasan darinya, bahkan tak ada simbol yang menunjukan bahwa pesanku ia baca. Mungkin ia sudah terlelap.
"Selamat tidur sayang"
Aku terlelap setelah kirimkan ucapanku, dengan ditemani rasa rindu tentunya. Baru saja beberapa jam aku terlepap. Suara telepon ku berbunyi keras sekali. Awalnya tak ku hiraukan, tapi semakin lama, semakin menjengkelkan. Ia terus berbunyi lagi dan lagi.  Terpaksa ku angkat telepon itu, dengan suara setengah sadar ku mulai bersuara.
"Halo?"
"Halo Rara, kamu lagi dimana?"
"Lagi dirumah, ini siapa?"
"Ini mamah sayang, mamahnya Kiki. Rara kamu sekarang harus ke Yogya ya sayang"
"Ke Yogya? Sekarang? Ada apa mah?"
"Udah pokonya sekarang kamu harus ke Yogya ya sayang mamah tunggu"
Tanpa pikir panjang ku bergegas menuju ke bandara. Pukul delapan pagi, ku injakkan kakiku ditanah Yogya ini. Ternyata ku sudah ditunggu oleh Ka Arif.
"Ada apa ya ka ko aku disuruh ke Yogya mendadak gini si?"
"Nanti juga kamu tahu sendiri"
" Terus sekarang kita mau kemana ka?
"Nanti juga kamu tahu sendiri"
Ku hanya mengangguk. Senang rasanya berada di kota ini. Karna ini berarti aku dan dirinya saat ini dekat, dan kita akan berjumpa, melepas rindu. Aku sengaja tak memberitahukannya jika aku sedang di Yogya. Aku ingin memberikan kejutan, sama seperti yang sering ia lakukan padaku.
Tersadar pada lamunanku, ternyata kita berbelok pada sebuah gerbang bertuliskan rumah sakit. Aku tenangkan diriku. Aku bertanya pada Ka Arif kenapa kita disini ia hanya diam. Semakin panik ku rasa. Masuki lorong, ku lihat para medis sudah sibuk melayani. Orang sakit, yang mengantar, para perawat, dokter berbaur menjadi satu, semakin buatku tegang. Terlebih aroma khas rumah sakit membuatku semakin mual. Tiba didepan pintu kamar bertuliskan 205. Jendela yang ada didepan pintu tak bisa bantuku melihat kedalam. Rasa tegang yang sedari tadi ada pun kini berpacu dengan rasa takut. Ka Arif bukakan pintu kamar, ia sudah lewati batas ruangan luar dengan ruangan kamar. Dan aku masih berada diluar ruangan kamar. Ka Arif paksaku tuk masuk.
Saat ku ayunkan kaki kananku, detak jantung ini semakin kencang memompa darah ini, buat detak jantungku semakin berirama keras. Ku terus ayunkan kakiku dengan takut hingga akhirnya tiba didepan tempat tidur beroda. Ya Tuhan. Seketika aku berurai air mata. Tak percaya dengan apa yang aku lihat saat itu. Ya Tuhan. Dibalut perban dan alat pernafasan ia tebaring kesatikan. Tak bisa aku berkata apa apa aku hanya bisa terdiam dan langsung memeluknya. Cucuran air mata tak tertahankan, semakin deras di setiap tetesannya.
"Malam dia itu mau pulang ke Bandung, mau ketemu kamu. Dia sudah diwisuda kemarin pagi. Dia sengaja ga ngasih kabar ke kamu tentang rencana dia pulang dan tentang wisudanya ini, dia pengen ngasih kejutan. Waktu dia mau ke bandara, taksi yang ditumpanginya ternyata ketabrak truk. Supir taksi meninggal ditempat. Alhamdulillah Kiki masih dikasih kesempatan untuk selamat, meskipun keadaan dia saat ini seperti ini. Maaf mamah nyuruh kamu kesini tiba tiba dan ga ngasih tahu dulu sebelumnya, mamah takut kamu ga bisa nerima ini semua"
Semakin kencang air mata ini berjatuhan. Sekali lagi kau buatku menangis sayang.

Setia ku berada disampingnya, menunggu dirinya yang sedang terlelap dalam dunia bawah sadarnya. Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Ku hanya bisa menangis sembari berharap Ia kan beri mukjizatnya. Ku bercerita tentang semuanya, tentang rindu, tentang kekhawatiranku meskipun tak ada respon tapi ku berharap ia kan mendengarnya.

Dihari ketiga ini, ia berikan tanda kehidupan. Akhirnya ia sadar dari komanya. Mukjizat-Nya mengalir padanya, kekasihku. Ia tersenyum padaku meski masih mengingat. Semua mengucap syukur, dan aku sangat bahagia. Harapku akan kesembuhannya semakin meningkat. Seperti biasa ku duduk disampingnya, bercerita ini dan itu, temaninya, kuatkannya. Beberapa waktu setelah masa itu, ia beranjak pulih. Dan aku masih disini untukmu sayang.
"Sayang, apa kau mencintaiku?"
"Aku sangat mencintaimu sayang, kamu cepet sembuh ya sayang, aku pingin meluk kamu erat sekali"
"Aku juga sangat mencintaimu sayang. Sayang aku ingin bertanya padamu"
Ia mendadak serius. Aku ingat ketika dirinya pertama kali berbicara serius padaku. Ketika itu ia memintaku tuk jadikan aku sebagai bagian dari hidupnya.
"Ada apa sayang? Serius banget deh. Jangan serius serius ah kan kamu masih sakit sayang"
Ia hanya tersenyum. Dan tangannya mendadak semakin erat genggam tanganku, seolah ia tak ingin lepaskanku.
"Aku sayang banget sama kamu sayang. Sayang banget. Dan aku harap kamu bisa merasakannya. Sayang bagaimana jika aku tak bisa tepati janjiku padamu? Bagaimana jika aku tak bisa bawamu ke tempat impianmu? Bagaimana jika aku tak bisa mengucap janji didepan orang tuamu?"
Tak kuasa aku mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menangis mendengar itu semua. Kini giliranku yang semakin erat menggenggam tangannya. Ku coba keluarkan suara ini meski dengan iringan tangis.
"Kamu ngomong apa si sayang. Kamu mau ingkar janji sama aku? Kamu udah ga sayang lagi sama aku? Kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu, dan aku gamau kamu pergi dari aku"
"Maaf sayang aku ga bermaksud untuk ingkari semua janji aku. Tapi aku hanya takut tak bisa menjadi seperti apa yang kau mau. Aku takut tak bisa wujudkan semua impian kamu. Impian kita"
"Sayang aku percaya kamu bakal sembuh dan kamu bakal tepatin semua janji kamu dan kita akan wujudin semua impian kita. Sayang kamu janjikan kamu bakal sembuh?"
"Sayang, aku akan mencintaimu selama aku bisa, aku akan selalu ada disampingmu, menjagamu, memelukmu. Sayang, kamu percaya kan sama cinta sejati. Aku selalu berharap cinta yang kita punya ini adalah cinta sejati. Meskipun aku dan dirimu terpisah ruang dan waktu tapi cinta kita kan selalu ada, tetap tumbuh dihati kita. Meskipun aku tak bisa lagi memelukmu dan menjagamu lewat raga ini, tapi aku kan menjagamu lewat cinta ini. Sayang, aku kan selalu berdoa tuk jadikanmu bidadariku dalam surga-Nya kelak. Sayang, aku, kamu dan semua yang kita miliki hanyalah titipan dan semua itu adalah milik-Nya. Sayang aku minta maaf jika aku tak akan pernah bisa menepati semua janjiku. Tapi aku selalu berdoa agar Tuhan mau memberikan aku waktu sedikit lagi untuk bisa membuatmu tersenyum kembali. Mau kah kau memaafkanku?"
Suara tangisku semakin kencang.
"Rara yang aku kenal adalah wanita tangguh dengan segala tingkah konyolnya, pemaaf, dan selalu ceria. Dan aku selalu jatuh hati setiap kali kamu jutek, cuek. Karna aku tahu kamu punya kasih yang tulus, dan sifat pemaaf"
Aku beranikan diri melihat matanya yang sedari tadi mengeluarkan tangisannya
"Sayang, aku sangat menyayangimu. Semua yang ada pada dirimu aku menyukainya. Kau yang selalu buat aku tertawa, menangis, kesal, menunggu. Dan kau yang selalu ajarkan aku mengerti, mendengar, memaafkan. Sayang aku hanya manusia biasa yang ingin semua harapnya bisa terwujud. Terlebih jika yang mewujudkannya itu adalah orang yang paling aku sayangi. Aku tahu Tuhan selalu punya cara agar makhluknya mengerti dan memaafkan. Aku percaya bahwa Tuhan selalu punyai "waktu" agar makhluknya bisa mewujudkan impiannya. Sayang aku belajar tuk bisa memaafkanmu jika kau sudah menyerah tuk menepati semua janjimu. Karna aku percaya, kau selalu tahu kapan kau harus melangkah dan kapan kau harus tinggal. Sayang kau adalah segalanya bagiku. Jika kau meminta aku kan menepatinya. Karna aku tahu Tuhan ciptakan kau hanya untukku, dan aku percaya Tuhan kan berikan alasannya jika Ia ingin memilikimu kembali"
"Aku selalu tahu kau selalu punya alasan tuk menerima. Aku menyangimu Ra"
Tak tahan lagi, aku pelukmu erat, lepaskan semua sakit ini. Ya Tuhan, aku menyayanginya. Tak berapa lama, Tuhan berikan jalan padanya untuk bahagia.
Tangisku pecah dalam ruangan. Keras, semakin keras. Ku peluk tubuhnya yang hangat yang perlahan menjadi dingin. Kaku. Ia tidur tenang seolah semua sudah ia ketahui. Dan aku, hanya bisa menangis. Meratapi kepergiannya. Ya Tuhan apa aku bisa lewati ini semua.

Setelah rangkaian pengurusan jenazah selesai. Ini adalah waktu yang aku takuti. Mengantarkannya menuju peristirahatan terakhir, yang dingin dan gelap. Iring iringan jenazah keras menyebut kalimat tahlil. Ya Tuhan kuatkan aku.
Memasuki taman pemakaman. Berjejer "ruang tidur". Dan ia akan tidur dan menjadi penghuni tempat ini.
Tubuhnya mulai diangkat menuju tempat yang sebenarnya. Perlahan tanah mulai mengubur tubuhnya. Semakin lama semakin menggunung tanah itu selimuti tubuhnya. Doa sebagai penutup menghantarkannya menuju dekapan-Nya.
Didepan nisannya lagi lagi ku menangis, menatapnya. Kini tak ada lagi dirinya yang akan memelukku, beri ku kejutan, beri ku kecupan manis dikeningku. Tak ada lagi yang membuatku menangis, membuatku kesal, membuatku tersenyum. Tak ada lagi yang akan membuatku menunggu, mengajarkanku tuk mengerti. Memaksaku tuk bersabar. Tapi ia akan selalu membuatku merindu. Selalu.

Sekarang aku mengerti mengapa malam itu aku sangat merindukanmu dan menginginkanmu tuk ada disampingku, sekarang aku mengerti sayang. Sayang maafkan aku yang tak pernah bisa mengertimu, aku harap kau kan selalu mengerti akan rindu ini sayang. Kasihku, rinduku, selalu dalam doa yang kuhantarkan untukmu dan semoga aku akan tetap menjadi bagian dari hidupmu yang kekal kelak. Selamat beristirahat sayang, rinduku akan membawaku dalam doa untukmu.