Sabtu, 25 April 2015

Bulan

Bulan -3

Mungkin ini yang mereka sebut sebagai jatuh cinta. Bukan kali pertama yang dirasa, tapi ini yang terlihat konyol. Bukan kali pertama dibuat, tapi ini yang harus diakhiri. Bukan kali pertama dikhianati, tapi ini yang harus dipelajari. Ah jatuh cinta

Slalu ada kata untung untuk setiap kejadian, setidaknya itu ciri khas manusia. Bersyukur. Satu hari Tuhan beriku waktu tuk jatuh. Berurai, tapi selebihnya dibalut kawan penuh tawa. Lupakan. Hanya. Satu. Hari.

Bulan -2

Sendiri nikmati bebas. Ah ini hidup. Tak ada sayang. Tak ada janji. Tak ada posesif. Tak ada bualan. Tak ada maaf. Tak ada harus. Tak ada. Tak ada. Dan tak ada.

Tapi terdapat 'ada'. Ah mungkin hanya. Lupakan

Tapi. Pesan berbayar masuk dan. Mungkin hanya.

Bulan -1

Intens, yang tadinya 'mungkin hanya'. Berubah menjadi 'apa mungkin'.

Headset + buku + populer = apa mungkin

Semakin. Penyesuaian canda, puitis. Apa mungkin

Bulan 0

Tak ada. Mungkin 'apa mungkin' memang harusnya 'mungkin hanya'. Hilang tapi setidaknya mengerti bahwa memang ini yang seharusnya.  Kembali pada waktu yang dulu pernah tersita oleh pertanyaan 'apa mungkin'.

Tapi aku bukan orang yang pandai berteman dengan rindu. Bersembunyi dibalik tembok tawa, yang selalu roboh oleh kerinduan. Ah aku benci mengatakan bahwa 'aku rindu'.

Bulan 1

Sama-sama mencari. Mendoakan. Mengharapkan. Dan merindukan.
Sama-sama berpura-pura. Menganalisa. Dan berkesimpulan. 'Sama-sama membutuhkan'

Berikrar tuk saling melengkapi, mencoba berjalan beriringan. Dengan tangan saling menggenggam. Mata yang saling terfokus menyaksikan. Telinga yang saling mengerti. Logika yang saling realistis. Hati yang saling meyakinkan. Hanya kita, bukan aku, bukan kamu.

Bulan 2

Seperti sayur, suatu hubungan pun perlu bumbu. Garam, gula, cabai kita yang tentukan, tinggal pilih rasa mana yang akan dimasukkan dalam sayur cinta.

Dalam hubungan bukan berarti paksakan kehendak tuk satukan dua kepala berbeda. Bukan juga mempertahankan yang ada dalam diri karna paling merasa. Tapi setidaknya saling tahu sifat yang tidak bisa hilang/dirubah setidaknya itu bisa membuat kita intropeksi untuk membuat diri meningkatkan level sabar dan tawa.

Bulan 3

Mesra bukan berarti tanpa pertanyaan. Dari awal pernyataan 'mungkin hanya' yang kemudian berubah menjadi pertanyaan 'apa mungkin' dan berubah kembali ke pernyataan 'mungkin hanya' selalu membuat berfikir. Tapi logika harus realistis bukan? Slalu diucapkan ketika ada kesempatan 'aku sayang kamu'. Tidak membuatku tuk tidak berucap dalam lirih bahwa 'aku sayang kamu' bukan? Tak terdengar bukan alasanku tuk diam menyembunyikan. Dawai- dawai doa dilantukan, terselip nama yang ku yakini. Meski yakin terkadang kalah oleh takdir.

Bulan 4
Klimaks

Sebuah Pengakuan

Mungkin terlambat tuk menyadari, atau bisa dibilang ini awal tuk sebuah pengakuan. Entah. Tapi sudah lama ku tahan ini. Mungkin akan selamanya tertahan. Semoga tidak. Tapi aku tak punya banyak pilihan selain diam. Dengan berbagai alasan, ku pilih diam. Menahan. Tertahan. Atau mungkin memang harus diam.

Satu tahun bukan waktu yang lama tuk masa saat ini. Tapi alangkah indahnya jika pernyataan 'bukan waktu yang lama' sedikit direvisi dengan perjalanan hari didalamnya. 365 hari, kumpulan hari yang terdiri dari detik yang berubah menjadi menit dan bermetamorfosis menjadi jam. Tentu dengan rasa, dan keadaan yang bisa berubah seketika. Tapi satu yang tak bisa berubah meski dalam detik, menit, jam, hari, minggu dan bulan berubah. Menahan. Atau mungkin harus dikatan tertahan. Entah. Suatu yang aku sendiri enggan mengakuinya, atau mungkin tak ada yang harus diakui. Entah.

Aku tak tahu, kapan, bagaimana, dan dimana 'ketertahanan' ini akan sampai puncaknya. Mungkin saat semua ini sudah menjauh. Atau bisa juga ketika semua ini terungkap tapi terdapat alasan tuk menjalaninya.

Aku tak tahan, berteman dengan rasa takut, menahan tuk diam, menyembunyikan rasa, dan belaga tak mempunyainya. Aku muak. Tapi kau hanya menunggu. Disudut yang kau anggap aman. Menyaksikan dari jauh. Ketika ku jatuh kau diam. Ketika ku panggil kau diam. Ketika ku butuh kau diam. Dan kau masih diam ketika ku mencoba tuk hilangkan 'ketertahanan' ini.

Tapi malam ini, ku tak ingin lagi bersembunyi dibalik lantunan doa untukmu. Ku tak ingin berdiri dibalik dinding kokoh egoisku. Ku tak ingin diam dalam gelap jeritan yang berisikan mauku padamu. Sudah bosan ku mendengar diri ini mencaci diriku sendiri karna ku terlalu takut melangkah tuk mendekapmu. Sudah terlalu lama dengarkan setan dalam kiriku yang selalu jatuhkan obsesi tuk keluarkan kasih untuk dirimu. Sudah saatnya.

Ya, aku merindu saat hujan turun
Ya, aku mencinta saat matahari menyinari
Ya, aku berharap saat hembusan angin menyapa
Ya, aku membutuhkan saat rembulan hadir
Ya, aku berdoa saat bintang bermunculan
Ya, sudah saatnya mengetahui bahwa diam itu adalah jalan terbaik. Bagai daun yang gugur terbawa angin. Aku terlambat menyadarinya dan ini adalah awal dari sebuah pengakuan.

Satu Detik

Mungkin ini satu dari sekian banyak yang bisa di rasa. Tak mudah menjelaskan. Tak mudah dibayangi. Dan tak mudah. Ya, tak mudah. Mungkin memang seperti itu. Biarkan.

Tak biasa mengungkapkan dengan sempurna. Tak tepat waktu dan tepat sasaran bukan halangan untuk tetap bisa merasakan. Seolah dipelihara, ini semakin tumbuh, menjalar ke bagian lain. Ah aku membencinya !

Dalam 24 jam yang ku miliki sebagai manusia, harus dikurangi untuk satu detik. Satu detik yang membuatku, mungkin ingin menghentikan waktu. Atau terkadang ingin menghilangkan waktu. Satu detik, hanya satu detik. Selebihnya mungkin aku akan berfikir normal kembali. Tapi tetap saja di satu detik itu !

Tak perlu pembenar untuk setiap alasan yang aku utarakan. Percuma menjelaskan, si pendengar hanya manggut dengan mata kelayapan, otak merekam, dan sebuah berita dengan analisis asal-asalan pun jadi. Dan aku? Narasumber yang masih meneliti apa yang sebenarnya terjadi.

Aku benci tapi di satu detik aku butuh seolah ribuan detik selanjutnya dialah penyelamat.
Aku merasa tapi karna alasan aku berharap ia tak nampak.
Sebuah pengakuan yang tak ingin diketahui. Meski ku tahu, ia takan pernah ingin tahu.

Kamis, 09 April 2015

Hey Bagaimana ?

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada pertemuan yang berujung mencari

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada rindu yang berujung maaf

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada genggaman yang berujung goresan

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?
Tak ada mesti yang berujung seharusnya

Hey bagaimana jika aku terlahir kembali?

Rabu, 08 April 2015

Mungkin

Kembali, sepertinya ini seperti angin. Kadang dibutuhkan dikala panas, dan dihindari pada saat tak nyaman. Mungkin. Atau mungkin seperti dahaga, yang paksa kita untuk mencari sumber, tapi kala ia terlihat kita acuh dengan alasan yang mengitari. Semisal kenyang.

Tapi mungkin ini lebih dari itu, atau mungkin tak melebihi sama sekali. Entah. Yang empunya pun terperingis dihantui apa yang ia hindari. Atau ini hanya ilusi belaka? Entah.

Dua kemungkinan yang bisa terjadi. Atau bisa dikatakan tidak ada yang terjadi sama sekali. Yang jelas si tuan berfikir keras. Satu, ada sirat dibalik yang tersirat. Dua, ada sirat dibalik ilusi. Atau hanya memang tak ada yang mesti di mestikan? Ah

Tak Ada

21.00 WIB
Waktu yang ideal menuju peristirahatan sementara, untuk pergi kealam bawah sadar bertemu bunga mimpi. Semoga bangun dengan keadaan bugar.

01.00 WIB
Terbangun untuk suatu alasan klasik, mimpi. Tapi dengan tambahan alasan yang cukup 'tak masuk keinginan', dia.

01.30 WIB
Paksa pejamkan kembali mata, tapi sia-sia. Dua puluh menit melawan pertanyaan 'kenapa, ada apa, ko bisa, kenapa, ada apa, ko bisa', tak buatku lelah meski ingin sekali mengantuk.

01.50 WIB
Ku tegukkan air penghilang 'dahaga'. Sekali teguk. Dua kali teguk. Tiga kali teguk. Empat kali teguk. Berkali-kali tegukka. Ah enyahlah.

02.00 WIB
Masih dengan pertanyaan. Mataku lihat sekeliling ruang kecilku yang ku sebut kamar, dan terfokus pada seperangkat alat shalat. Ku dirikan dua rakaat shalat dengan niat tahajud, dengan barisan bait doa.

02.30 WIB
Ah, masih. Ambil handphoneku yang mereka bilang smart. Tapi ah, apalah ini yang ada di dalam pesan singkat berbayarku. Tak ada. Tak ada? Atau memang harus tak ada? Mengapa tak ada? Apakah memang tak ada? Ya, tak ada !

03.15 WIB
Tak ada. Ah tidurlah. Dengan terpaksa. Meski enggan, tapi harus. Karna itu lebih baik. Dari pada tak ada !

07.30 WIB
Tak ada

13.00 WIB
Tak ada

15.00 WIB
Tak ada

18.00 WIB
Tak ada

19.00 WIB
Tak ada

19.30 WIB
Tak ada

19.45 WIB
Tak ada

20.45 WIB
Tak ada

21.05 WIB
Tak ada

21.30 WIB
Tak ada

21.45 WIB
Tak ada

22.00 WIB
Tak ada

22.15 WIB
Tak ada

Ah mungkin memang harus tak ada. Yasudah, semoga dia tak ada lagi. Tapi jika esok kau ada, anggap saja aku yang tak ada. Cukup adil bukan ?