Sabtu, 21 Februari 2015

Rangakain Kata

Malam merambati rinduku yang juga belum berangsur padam. Entah sudah berapa malam yang telah bergulir. Tapi malam ini, masih malam yang sama bahkan dengan dingin yang sama. Aku tak pernah tahu arti dari apa yang aku rasa. Diam, bersembunyi dibalik gelap kerap aku lakukan. Disudut tak menentu ini menjadi tempat ternyaman. Seolah mengerti, ia selalu hadirkan sunyi dengan dingin terbaiknya. Dan kerinduan ini memaksaku membeci malam

Dalam benak slalu bertanya, mengapa bulan dan bintang slalu bersama disetiap malam. Sedangkan kau tak pernah hadir di setiap gelapku?Apakah gelap ini tidak nyata? Atau hanya aku yang terbiasa tanpa cahaya? Tak nampakkah ku dalam harimu? Atau semua ini tak pantas terwujud?

Kau adalah bagian terkecil dari partikel memoriku yang paling aku rindukan. Tatap matamu buatku semakin menyelam dalam khayalku. Dan kamu, seperti biasa jauh dari kenyataan. Aku berkaca pada cermin yang ikut menertawakan rasa takutku. Dekat dalam jarak tak buatku kuasa tuk bersuara. Ada rasa ingin menyapa, namun aku hanya bisa menyimpan kata. Telingamu terlalu indah tuk dengarkan suara hati ini. Meskipun jawaban terbaikku telah ku rangkai, tapi pertanyaan tak pernah mendarat dibibirmu. Salah siapa? Jarak kah? Waktu kah? Atau pena yang tak tuliskan ini untuk kita?

Jangan kau bilang lagi aku harus pasrah pada sang kala.  Karna aku tlah jengah pada setiap denting yang bersuarakan namamu. Mungkin aku harus berguru pada bulan yang menginginkan matahari, tapi ia tahu sebatas mana ia harus bermimpi. Dan kau adalah nyata yang tak bisa ku sentuh.  Jika gelap adalah ketiadaan cahaya, maka hitam adalah lembaran tanpa cinta. Dan kau adalah satu satunya lembaran hitam yang ingin aku beri warna. Tapi mustahil, karna Pemberi Warna hanya hadiahkanku hitam. Bagaimana bisa hitam dengan hitam menjadi pelangi?

Embun pagi hari selalu kirimkan kesejukan untuk siapapun, dan seharusnya termasuk aku. Tapi bagiku tak ada yang berikan kesejukan selain semua tentangmu. Bahkan hangatnya mentari tak bisa gantikan pelukmu. Sadarkah kau, setiap senja yang mentari hadirkan untuk bumi, itu adalah rindu untukmu. Bagaimana bisa, semua rindu ada tempatnya, tapi mungkin kali ini tidak padamu. Atau bahkan selamanya. Mungkin setiap rindu yang aku ciptakan tak boleh untukmu. Lantas salah siapa? Hati ini? Atau rindu ini yang terlalu lancang mengaharapkanmu?

Tolong katakan kemana aku harus mencari Tuhanmu agar aku bisa sampaikan semua rasaku. Aku tak perlu pembenar untuk setiap kata, rasa, dan kekecewaan yang menyelimuti setiap penantianku. Tak perlu, aku hanya ingin Tuhan mengerti bahwa semua tentangku tulus akanmu.

Harapan adalah apa yang aku gantungkan setara bintang, tapi kau hempaskan menjadi serpihan. Tak tahu dirikah? Atau engkau yang terlalu tinggi untuk ku gapai? Bahkan langit menunggu matiku, terhimpit harapan yang seharusnya tak menumpuk. Tapi harap ini seperti kuku jemari yang selalu tumbuh meski dipangkas setiap hari. Seberapa keras ku menjerit, bintang takan pernah meninggalkan langit. Meski ku memohon meronta, bintang takan wujudkan kau tuk bernafas. Kelak huruf akan terangkai menjadi kata, yang menunggu untuk diucapkan atau mengendap sebatas harapan. Dan saat itu pula, semua tlah sirna, pergi jauh tersapu oleh angin.

Tak cukup keraskah ku berteriak pada langit yang tetap membisu dibalik kelabu? Atau langit tak mendengar? Ombak pun selalu merindukan pantai, tapi gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Terhempas dibalik karang tapi ia tak lelah. Andai. Tapi jiwa ini menciut. Dan kau tak perlu bersentuhan untuk buat jiwa ini remuk hingga menjadi serpihan. Karena angin telah terbangkannya. Jadi, tertawalah.

Bulan bersembunyi dibalik langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Mungkin harus ada yang terluka, untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Biarkanlah aku menjadi abu, sampai hembus terakhir keluh kesahmu. Mungkin untuk saat ini hanya sunyi senyap yang mengerti kesendirianku. Aku harap tak pernah ada persimpangan jalan, dimana teduhnya tatapanmu hanya ku sebut kenangan. Aku adalah titik terendah dalam dingin dan kelamnya hidup. Aku adalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan tanpa bertanya. Tapi aku bukan senja yang dapat merelakan matahari.

Kamu adalah apa yang selalu aku tulis dalam cerita dan aku adalah apa yang tak pernah kau baca. Seperti matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan terpendam ditempat yang dalam. Pada akhirnya takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Jika waktu telah berjalan, aku harap sesal tak pernah bawamu kembali. Bahkan jika kau hanya bosan menanti anggaplah aku mati. Karena aku takan bisa menolak tuk buatmu tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar